Suara.com - Membeli tanah dan aset properti lain dianggap sebagai investasi yang menjanjikan seiring dengan nilainya yang terus naik.
Iming-iming yang menggiurkan ini terkadang membuat calon pembeli tanah atau rumah kurang hati-hati dalam mengecek status legalitas.
Terlebih jika tergiur dengan iming-iming harga murah. Awas, hati-hati dengan risiko beli tanah dan aset properti yang masih sengketa.
Bukannya untung, bisa-bisa malah buntung. Bukan sekadar rugi secara finansial, tetapi juga rugi secara waktu dan emosional, bak sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Jenis-jenis sengketa yang bisa menjegal proses jual-beli tanah biasanya berupa perebutan hak waris, tumpang tindih sertifikat, hingga permasalahan perdata yang melibatkan pihak ketiga.
Berikut ini adalah lima risiko beli tanah dan aset yang masih dalam status sengketa. Hindari agar Anda tidak rugi dua kali.
1. Kehilangan Hak atas Tanah atau Properti
Risiko paling besar dalam pembelian aset yang sedang disengketakan adalah pembeli kehilangan hak kepemilikan atas tanah atau properti lain yang sudah dibeli.
Jika sengketa dimenangkan oleh pihak yang tidak terlibat transaksi dengan Anda, maka pembeli tidak bisa menuntut kepemilikan penuh meskipun telah mengeluarkan uang.
Baca Juga: Investasi Properti di Asia Pasifik Tumbuh, Negara-negara Ini Jadi Incaran
Untuk itu, pastikan tanah atau properti lain yang ingin dibeli tidak dalam keadaan sengketa. Pastikan pengadilan sudah membuat keputusan sah terkait pemilik tanah tersebut.
Jika tidak, maka siap-siap transaksi pembelian menjadi tidak sah, dan Anda akan kehilangan uang yang kemungkinan besar tidak akan kembali.
2. Proses Hukum yang Panjang dan Melelahkan
Membeli tanah atau properti yang masih sengketa berarti pembeli juga harus siap menanggung proses hukum yang panjang dan melelahkan.
Belum pasti menang pula. Sebaliknya, hal ini bisa berujung pada proses pengadilan yang panjang, rumit, dan bisa jadi memberatkan kocek.
Proses hukum sengketa tanah di Indonesia tidak jarang memakan waktu bertahun-tahun, mulai dari tingkat pengadilan negeri, banding, kasasi, hingga peninjauan kembali.
Selama proses tersebut, pembeli tidak bisa memanfaatkan tanah atau properti dengan leluasa, sehingga tujuan investasi atau penggunaan pribadi tertunda tanpa kepastian.
3. Kerugian Finansial Tambahan
Selain risiko kehilangan dana utama untuk membeli aset, pembeli juga berpotensi mengalami kerugian finansial tambahan.
Tak jarang biaya jasa hukum dibebankan kepada pembeli seperti biaya advokat, notaris, saksi ahli, pajak, dan denda. Proses pembangunan pada aset yang sudah dibeli pun bisa jadi tertunda akibat sengketa.
4. Konflik Sosial
Tanah sengketa sering melibatkan lebih dari satu pihak, baik individu, keluarga besar, maupun kelompok masyarakat. Pembeli yang masuk ke dalam konflik ini bisa terseret dalam perselisihan yang menimbulkan ketegangan sosial.
Tidak jarang, sengketa tanah berujung pada bentrokan, intimidasi, atau tekanan dari pihak lain yang merasa memiliki hak.
Kondisi seperti ini bukan hanya berbahaya bagi keselamatan Anda dan keluarga, tetapi juga menimbulkan beban psikologis karena pembeli harus menghadapi konflik berlarut-larut. Rasa tidak aman dan stres berkepanjangan sering dialami oleh pihak yang terjebak.
5. Nilai Investasi yang Merosot
Terakhir, harga properti dalam status sengketa bisa saja merosot tajam. Jika sudah begitu, tujuan pembelian properti sebagai investasi bisa tidak tercapai.
Aset yang disengketakan secara otomatis nilainya akan turun di pasaran. Penyebabnya risiko yang terlalu tinggi untuk dibeli.
Investor atau calon pembeli lain enggan melanjutkan transaksi karena status hukum tidak jelas. Akibatnya, properti menjadi sulit dijual kembali.
Bahkan ketika pembeli ingin menjadikannya agunan di bank, pihak perbankan biasanya menolak aset yang status hukumnya tidak bersih. Hal ini membuat potensi keuntungan investasi hilang dan justru berubah menjadi kerugian.
Kontributor : Nadia Lutfiana Mawarni