Suara.com - Dunia sepak bola kembali diliputi kekhawatiran, kali ini bukan karena hasil pertandingan, melainkan ketegangan geopolitik yang kembali memanas.
Serangan udara Amerika Serikat ke Iran, Sabtu (21/6), memunculkan spekulasi akan pecahnya Perang Dunia Ketiga.
Kini, perhatian publik beralih, apakah FIFA akan kembali menjatuhkan sanksi seperti yang pernah dilakukan kepada Yugoslavia pada awal 1990-an?
Presiden Amerika Serikat Donald Trump menyatakan bahwa AS telah menyelesaikan "serangan yang sangat sukses" terhadap tiga titik fasilitas nuklir di Iran, Sabtu (21/6).
Dalam Truth Social, Trump menyatakan bahwa semua pesawat AS telah keluar dari ruang udara Iran, di tengah meningkatnya ketegangan di Timur Tengah.
![Donald Trump Bombardir Iran Tanpa Restu Kongres AS. [Instagram]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/06/22/96756-donald-trump.jpg)
Serangan tersebut dilancarkan setelah Israel dilaporkan meminta AS terlibat dalam serangan udara yang sudah dilakukannya duluan terhadap sejumlah titik di Iran.
Israel juga telah menyerang beberapa fasilitas yang terkait dengan program pengembangan nuklir Teheran sebelumnya.
Keterlibatan AS dalam agresi Israel terhadap Iran, menentang peringatan Teheran supaya AS tidak ikut campur, diperkirakan akan menyebabkan pemburukan eskalasi yang tak terhindarkan di kawasan.
Akankah FIFA Berikan Sanksi Berat?
Baca Juga: Trump: AS Sukses Serang 3 Lokasi Nuklir Iran, Dunia Tercengang!
Perbandingan langsung pun mencuat dengan kasus Yugoslavia. Pada 1992, di tengah berkecamuknya konflik Balkan, FIFA dan UEFA menjatuhkan sanksi berat kepada Yugoslavia.
Saat itu, FIFA yang dipimpin oleh Joao Havelange menjatuhkan kepada negara Yugoslavia buntut agresi militer negara itu ke sejumlah wilayah Balkan.
FIFA dan UEFA kala itu menjatuhkan sanksi berat berupa larangan bagi Yugoslavia ikut serta di Piala Eropa 1992 dan Piala Dunia 1994.
Sanksi dari FIFA dan UEFA ini menyusul setelah sebelumnya PBB mengeluarkan resolusi hukuman kepada Yugoslavia karena keterlibatan dalam konflik di Balkan, khususnya agresi terhadap bekas republik Bosnia-Herzegovina.
Keputusan FIFA saat itu membuat publik terkejut, apalagi Yugoslavia dulu menjadi salah satu kekuatan sepak bola Eropa.
Yugoslavia dipenuhi talenta berbakat. Di awal dekade 90-an, publik mengenal pemain seperti Zvonimir Boban, Davor Suker, Dragan Stojkovic hingga Robert Jarni.
Sayang konflik antar etnis membuat negara itu kemudian bubar.

Hancurnya Yugoslvia sendiri akhirnya munculkan banyak negara baru seperti Slovenia, Serbia, Montenegro, Kroasia, Bosnia-Herzegovinaosnia, Kosovo, dan Makedonia.
Uniknya 7 negara ini memiliki gaya permainan sepak bola berbeda yang dulu disatukan lewat bendera Yugoslavia.
Tak seperti kebanyakan pemain dari Eropa, gaya permainan orang Yugoslavia yang campuran dari banyak etnis membuat tim nasional negara itu cukup disegani.
Percampuran banyak etnis yang ada di Yugoslavia membuat gaya main mereka sangat jauh berbeda dengan negara dari Eropa Timur ataupun dari negara Eropa Barat.
Jika pemain dari Eropa Timur lebih mengandalkan fisik sebagai gaya bermainnya dan pemain Eropa Barat lebih fokus pada permainan tim dan taktik, gaya main Yugoslavia mencampurkan keduanya.
Bahkan lebih hebatnya lagi dalam urusan skill, pemain Yugoslavia terbilang di atas rata-rata pemain dari Eropa Timur misalnya.
Sanksi dari PBB dan FIFA
Pada 30 Mei 1992, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi 757, yang menjatuhkan sanksi ekonomi dan diplomatik kepada Republik Federal Yugoslavia (yang terdiri dari Serbia dan Montenegro), sebagai buntut dari keterlibatannya dalam konflik Bosnia.
Sanksi ini mencakup larangan semua bentuk kompetisi olahraga internasional.
FIFA dan UEFA segera merespons. Pada awal Juni 1992, hanya beberapa hari sebelum dimulainya EURO 1992 di Swedia, Yugoslavia yang awalnya sudah lolos kualifikasi dan dijadwalkan bertanding, secara resmi dilarang berpartisipasi.
Sebagai penggantinya, UEFA memanggil Denmark, yang menempati peringkat kedua di grup kualifikasi.

Ironisnya, Denmark yang "hanya cadangan" justru tampil gemilang dan keluar sebagai juara Eropa 1992.
Tak hanya di level tim nasional, klub-klub Yugoslavia juga dilarang tampil di kompetisi Eropa, termasuk Red Star Belgrade yang saat itu berstatus juara bertahan Piala Champions 1991.
Banyak pemain top Yugoslavia yang berasal dari wilayah yang kemudian merdeka, seperti Kroasia atau Bosnia.
Mereka terpaksa memilih membela tim baru masing-masing. Beberapa lainnya, terutama dari Serbia, terpaksa absen dari pentas internasional akibat sanksi ini.
Pelatih legendaris Ivica Osim bahkan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai pelatih timnas pada 1992 setelah melihat kampung halamannya di Sarajevo dibombardir.
“Saya tidak bisa melatih sebuah tim ketika orang-orang saya terbunuh,” katanya dalam wawancara dengan media Austria.
Sanksi olahraga ini berlaku selama hampir 3 tahun.
Pada 1994, UEFA mulai melonggarkan sanksi dengan mengizinkan klub-klub Serbia dan Montenegro kembali bermain di kompetisi Eropa.
Pada 1996, tim nasional Yugoslavia (Serbia-Montenegro) kembali tampil di ajang internasional, dimulai dari EURO 1996 di Inggris.