Padahal setahu Rieka Roslan, bukti besaran pendapatan mereka selama ini juga disodorkan ke lembaga manajemen kolektif (LMK) dari pihak promotor untuk menentukan besaran perfoming rights.
"Kalau menganut sistem LMK, mereka menghitung dari dua persen produksi. Kan invoice-nya ditaruh juga, jadi bingung saya," kata Rieka Roslan.
"Kita ngitung produksi dari mana? Panggung berapa, band-nya berapa, lighting-nya berapa, iya enggak sih? Berarti invoice itu akan dicantumkan kan di perhitungan 2 persen itu. Jadi, sebetulnya tidak ada bedanya," ucap mantan vokalis The Groove ini.
Sistem direct license dari AKSI juga tidak akan mengurangi jatah pemasukan penyanyi dari pertunjukan mereka. Melainkan ada biaya tambahan untuk pencipta yang harus dibayarkan pihak promotor dari nilai kontrak mereka.
"Misalnya artisnya Rp10 juta, fee-nya yang diminta ya jadi Rp11 juta. Sama sekali tidak memotong uang dari penyanyi," tutur Rieka Roslan.
"Sama kayak riders aja. Jadi kayak misalkan minta kopi, minta kue, minta tiket, minta hotel. Apakah motong dari fee penyanyi? Enggak kan?," tutur penyanyi 55 tahun ini.

Bedanya, pencipta lagu akan langsung menerima bayaran performing rights tanpa menunggu pengumpulan total pemasukan, seperti yang selama ini diterapkan LMK.
"Yang di AKSI ini, dia langsung ke penulis lagunya. Kalau yang ada di LMK adalah, sistemnya nunggu," ujar Rieka Roslan.
Dengan demikian, mereka yang mengandalkan pemasukan dari royalti bisa langsung memanfaatkan uangnya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Baca Juga: Rieka Roslan Tak Bisa Hidup dari Royalti Lagu, Paling Besar Cuma Rp19 Juta Setahun
"Kan bayaran dan tagihan enggak bisa nunggu," kata Rieka Roslan menyindir.