Pengepungan di Bukit Duri Dikritik Tak Berani Sentuh Penguasa, Ini Penjelaskan Joko Anwar

Ferry Noviandi Suara.Com
Selasa, 22 April 2025 | 18:40 WIB
Pengepungan di Bukit Duri Dikritik Tak Berani Sentuh Penguasa, Ini Penjelaskan Joko Anwar
Sutradara Sering Jadi Cameo (Instagram/@jokoanwar)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Salah satu kritik datang dari pengulas di media sosial yang menyebut film ini melepas isu rasisme terhadap etnis Tionghoa dari konteks politik dan sejarah yang lebih luas.

Disebutkan bahwa film ini terlalu fokus menggambarkan masyarakat kelas bawah sebagai pelaku kekerasan.

Sayangnya, tidak ada peran elite kekuasaan yang selama ini dinilai turut memelihara sentimen rasial demi kepentingan politik.

"Pengepungan di Bukit Duri hanya tajam memotret kejahatan masyarakat kelas bawah, dan bukan hanya tumpul, tapi tidak menyenggol sama sekali kejahatan mereka yang ada di struktur kekuasaan," tulisnya.

Film ini berlatar Indonesia tahun 2027, di tengah kondisi sosial yang semakin memburuk akibat diskriminasi dan perpecahan.

Tokoh utama, Edwin (Morgan Oey), adalah seorang guru pengganti yang idealis. Dia ditugaskan mengajar di SMA Duri, sekolah yang dikenal sebagai tempat bagi anak-anak bermasalah.

Namun, misi Edwin sebenarnya lebih personal. Dia sedang mencari keponakannya yang hilang sejak kerusuhan terakhir.

Di sekolah tersebut, Edwin menemukan kenyataan pahit. Para siswa bukan hanya brutal, tetapi juga tampaknya telah kehilangan empati.

Baca Juga: Terinspirasi dari Yayu Unru, Fatih Unru Ingin Punya Sekolah Akting Gratis

Di balik kebrutalan itu, "Pengepungan di Bukit Duri" menyisipkan narasi bahwa anak-anak ini bukan terlahir jahat, melainkan terbentuk oleh lingkungan sosial yang penuh kekerasan, kebencian, dan ketidakpedulian negara.

Dalam penjelasannya, Joko Anwar membandingkan filmnya dengan karya-karya seperti Parasite (2019), Shoplifters (2018), dan Bully (2001).

Film Pengepungan di Bukit Duri. [X]
Film Pengepungan di Bukit Duri. [X]

Film-film tersebut mengkritik sistem melalui narasi kehidupan rakyat kecil tanpa perlu menyebut penguasa secara langsung.

Menurut Joko Anwar, pendekatan seperti ini justru lebih kuat dan tidak menggurui. "Film adalah pengalaman manusia dan bukan hanya slogan," tutur Joko dalam cuitan panjangnya.

Apakah penjelasan ini akan meredam kritik atau justru memicu perdebatan baru? Waktu yang akan menjawab.

Namun yang pasti, Pengepungan di Bukit Duri telah membuka ruang diskusi yang panas, sesuai harapan Joko Anwar.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI