Suara.com - Panggung politik Tanah Air selalu menyajikan drama dan kejutan dari berbagai sisi. Tak terkecuali kemenangan Pramono Anung dalam Pilkada Jakarta, yang sejak awal mungkin tidak pernah diprediksi oleh sang kandidat sendiri.
Lantas, seperti apa rasanya tiba-tiba memegang tampuk kepemimpinan Jakarta tanpa rencana awal yang mungkin belum terlalu matang?
Pertanyaan itu menggelitik banyak pihak, termasuk komika Pandji Pragiwaksono, yang melontarkannya ke Pramono Anung dalam sebuah perbincangan di program Skakmat, yang tayang di YouTube pada Rabu, 25 Juni 2025.
"Apa rasanya nggak punya rencana jadi kepala daerah, terus tiba-tiba jadi kepala daerah? Di saat, mungkin kompetitor bapak sudah berniat dan punya rencana lebih lama gitu," tanya Pandji.
Respons Pramono Anung pun jujur, dan tanpa tedeng aling-aling. Ia mengakui posisi awalnya yang jauh dari gemerlap elektabilitas, seperti Ridwan Kamil sebagai kandidat terkuat.
"Yang pertama sudah berniat, kemudian surveinya tinggi sekali. Saya memulai dengan survei nol persen," ungkapnya.
Apa yang kemudian mendorong seorang Pramono Anung, yang mulanya tanpa ambisi menjadi kepala daerah dan bermodalkan survei nol persen, untuk akhirnya berjuang habis-habisan?
Jawabannya terletak pada realitas pahit yang ia saksikan di Jakarta.
"Yang kemudian membuat saya merasa bahwa, oh iya, ini saya harus fight dan saya harus menang untuk menjadi Gubernur Jakarta adalah, ketika melihat persoalan sebenarnya di Jakarta," tegas Pramono.
Baca Juga: Gubernur Pramono Gelar Pernikahan Putrinya di Rumdin: Kerja Tetap Jalan, Pejabat Negara Berdatangan
Persoalan yang dimaksud bukanlah isu-isu permukaan, melainkan akar masalah yang menggerogoti keadilan sosial di wilayah yang dulunya jadi ibu kota negara itu.
"Ada rasio ketimpangan yang tinggi antara orang yang kaya dengan orang yang miskin," jelas Pramono Anung.
Ketimpangan inilah yang menjadi motor penggerak utama misi kepemimpinan Pramono Anung.
Tidak hanya melihat angka, ia melihat wajah-wajah di balik statistik, anak-anak yang kesulitan mengakses pendidikan, hingga keluarga yang terpinggirkan dari fasilitas kota.
"Itu lah yang kemudian, kenapa dalam pemerintahan saya selama 100 hari, yang baru lewat beberapa hari yang lalu, betul-betul saya konsentrasi menyelesaikan persoalan yang mendasar, yaitu kesempatan anak-anak orang tidak mampu untuk bisa sekolah. Bahkan bisa sekolah sampai dengan S1, S2, bahkan sampai dengan S3," paparnya.
Fokus pada pendidikan bagi masyarakat tidak mampu adalah langkah strategis yang visioner. Pramono Anung percaya bahwa pendidikan adalah kunci utama untuk memutus rantai kemiskinan dan ketimpangan.