Suara.com - Praktek korupsi mungkin sering terlihat di jajaran pemerintah. Sejumlah politisi ditangkap karena tindakan jahat tersebut.
Tapi ternyata, korupsi bukan hanya ada di pemerintahan. Tetapi lingkup yang lebih kecil lagi, seperti panggung pertunjukan.
Inilah yang kemudian ditemui pada mahasiswa LSPR saat hendak membuat karya. Mereka yang berniat mengadakan pementasan teater terkendala dengan pungli uang pelicin.
"Praktek korupsi itu ada di depan mata kita. Jadi uang yang kami siapkan berapa, jadinya malah berapa (melonjak tinggi)," kata sutradara dan penulis naskah Amelia Angeliqa Haditama di Central Park, Jakarta Barat pada Kamis, 3 Juli 2025.
Melihat fenomena ini, mahasiswa Program Studi Performing Arts Communication dari LSPR Institute of Communication and Business merasa perlu menyuarakan isu tersebut.
![(Dari kiri ke kanan) Amelia Angeliqa Hadinata (Sutradara dan Penulis Naskah), Cecilia Tesalonika (Administrator dan Manajer Produksi) Esterina Teresia (Kepala Produksi dan Pengarah Artistik) dijumpai dalam acara jumpa pers film pendek "Karya untuk Negeri" di Central Park, Jakarta Barat pada Kamis, 3 Juli 2025. [Rena Pangesti/Suara.com]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/07/04/41894-film-pendek-karya-untuk-negeri.jpg)
Mereka kemudian menuangkan ide ini dalam bentuk karya sebagai bagian dari tugas akhir. Berjudul Karya untuk Negeri, film ini merupakan produksi dari Waka Waka Production.
"Film ini adalah curahan hati kami, kok miris ya? Sebagai mahasiswa yang punya tekad, kok dihancurkan?" kata perempuan yang akrab disapa Angel tersebut.
Ia menambahkan, "Jadi kami mau membuat sesuatu yang menyuarakan, oh praktek korupsi juga terjadi di dunia seni pertunjukan."
Proses pembuatan film ini tak lepas dari keterlibatan banyak pihak. Setidaknya, film berdurasi 45 menit ini melibatkan 20 aktor dan 60 kru profesional lintas disiplin.
Baca Juga: Kasus Korupsi Gula, Tom Lembong Jalani Sidang Tuntutan Hari Ini
Proses pembuatan film Karya untuk Negeri ini penuh dengan perjuangan, hasil dari campur tangan banyak pihak. Lebih dari sekadar ruang kritik sosial, film ini menjadi medium kolaboratif yang inklusif.
![Konferensi pers film pendek "Karya untuk Negeri" yang dilakukan di Mall Central Pakr, Jakarta Barat, Kamis (3/7/2025). [Rena Pangesti/Suara.com]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/07/04/33770-film-karya-untuk-negeri.jpg)
Beberapa pihak tersebut diantaranya anak-anak Taman Anak Pesisir, komunitas belajar dan seni yang berbasis di kawasan pesisir Pantai Wika, Kalibaru, Cilincing, Jakarta Utara.
Di bawah pendampingan Aceng Gimbal, pendiri Yayasan Sanggar Seni Trotoar, anak-anak ini kerap tampil dalam pertunjukan teater jalanan yang sarat makna sosial.
"Bagi kami karya ini bukan sekadar tugas akhir semata, melainkan bentuk nyata dari cinta kami terhadap seni," kata Angel.
Selain itu, lewat film ini pula mereka mau menyuarakan penyimpangan yang terjadi. Sehingga praktek korupsi pelan-pelan bisa hilang dari industri ini.
"Kami sebagai generasi muda tidak ingin hanya diam, kami ingin industri kreatif di Indonesia bertumbuh, diberi ruang, dan dihargai. Kami ingin para seniman muda bisa punya kesempatan untuk bersinar," imbuh Angel.
Hadirnya film Karya untuk Negeri tidak lepas dari dosen pembimbing, Mikhael Yulius Cobis. Lelaki yang akrab disapa Mikha ini mengatakan, proses pembuatan film berlangsung setahun.
Ada banyak persiapan, sebab mereka mau karya yang hadir bukan sekadar syarat kelulusan. Tetapi juga bisa bermanfaat untuk masyarakat.
"Saya berharap karya ini tidak hanya menjadi capaian akademik, tetapi juga bisa menjadi inspirasi bagi mahasiswa lain dan generasi muda. Mereka bisa menyampaikan gagasan melalui medium seni, dan tetap konsisten memperjuangkan ruang kreatif yang inklusif dan berkelanjutan," ucap Mikhael.
Sebagai gambaran, film "Karya untuk Negeri" mengisahkan Diandra, seorang seniman muda, bertekad mengadakan pertunjukan teater pertamanya bersama murid-murid dari rumah singgah.
Namun ia dihadapkan pada kenyataan pahit: birokrasi yang penuh pungli dan tekanan sistem korup.
Kekasihnya, Adrian adalah seorang jurnalis. Ia mencoba merasionalisasi kompromi, menciptakan konflik antara prinsip, cinta, dan perjuangan.
Dalam dilema moral dan sistem yang timpang, mampukah mereka menjaga integritas dan tetap mewujudkan mimpi mereka?
Penasaran seperti apa? Harap bersabar karena film ini akan tayang di YouTube Spotify dan Spotify.