Suara.com - Dunia hiburan kembali dihebohkan dengan pengakuan blak-blakan dari aktris sekaligus model, Erika Carlina.
Dalam siniar Close The Door yang diampu Deddy Corbuzier, ia mengakui tengah hamil sembilan bulan di luar ikatan pernikahan dan memutuskan untuk tidak menikah dengan pria yang menjadi ayah biologis dari anaknya.
Keputusan berani ini sontak memicu beragam reaksi. Namun di luar sorotan gosip, muncul pertanyaan hukum yang fundamental dan relevan bagi banyak orang yaitu bagaimana sebenarnya status hukum dan nasib seorang anak yang lahir di luar pernikahan dalam tata hukum di Indonesia?
Kasus ini menjadi cerminan dari realitas sosial yang kerap terjadi, di mana anak menjadi pihak yang paling rentan.
Secara historis, hukum di Indonesia memberikan garis yang tegas mengenai hal ini, yang berpusat pada perlindungan institusi perkawinan yang sah.
![Tak Kuat Mental, Tangis Erika Carlina Pecah Takut Diserang Fans eks Pacar saat Lahiran. [Instagram]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/07/18/98485-erika-carlina.jpg)
Undang-Undang Perkawinan
Sebelum adanya perubahan besar, landasan utama untuk status anak di luar nikah adalah Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan).
Pasal ini dengan jelas menyatakan, "anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya."
Artinya, secara hukum, anak tersebut hanya diakui sebagai keturunan dari garis ibu. Konsekuensinya sangat signifikan.
Baca Juga: Tetes Air Mata Erika Carlina, Perjuangkan Kelahiran Anak Agar Diakui dan Tak Jadi Korban
Anak tidak memiliki hubungan hukum dengan ayah biologisnya, yang berarti ia tidak berhak atas nafkah, warisan, maupun menggunakan nama keluarga ayahnya.
Dalam akta kelahiran pun, umumnya hanya akan tercantum nama ibu sebagai orangtua tunggal.

Posisi ini menempatkan anak dalam situasi yang tidak menentu, karena tidak adanya perlindungan hukum yang mengikat ayah biologisnya untuk bertanggung jawab.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK)
Kekakuan hukum tersebut akhirnya menemukan titik terang setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 46/PUU-VIII/2010.
Putusan ini dianggap sebagai sebuah revolusi dalam hukum keluarga di Indonesia karena memberikan penafsiran baru terhadap Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan.