Suara.com - Kata Sains Soal Bahaya Teori Konspirasi Covid-19, Bagaimana Mengatasinya?
Media sosial Indonesia diwarnai dengan beberapa influencer yang menuding bahwa Covid-19 hanyalah konspirasi belaka. Mulai dari Jerinx, Deddy Corbuzier, Young Lex, hingga orang sekelas Donald Trump sempat mempertanyakan asal-asul virus corona.
Sayangnya, teori konspirasi sama sekali tidak memberikan konstribusi positif. Sebab, disaat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dengan gencar meminta masyarakat untuk tetap di rumah, memakai masker, hingga menjaga kebersihan, beberapa orang yang termakan informasi konspirasi menyangkal.
"Tadi gue lagi ngantri bayar di alfamidi, trus ada orang tanpa masker ngantri agak dekat jaraknya ke gue, gue bilangin secar santai untuk agak jaga jarak, eh dia bilang: masih percaya hoax aja mas, semua konspirasi tuh,” tulis Founder Zenius, Sabda PS melalui akun Twitternya.
Cerita Sabda menjadi salah satu bukti, bahwa teori konspirasi berbahaya jika banyak orang mulai memercayainya.
Melansir dari web resmi Universitas Delware, Pakar teori konspirasi Joanne Miller, profesor asosiasi ilmu politik dan hubungan internasional Universitas Delaware menyatakan bahwa teori konspirasi terkait virus lebih bahaya dari teori konspirasi lain.
"Sepertinya ini akan lebih berbahaya daripada mempercayai teori konspirasi yang lebih umum lainnya. Ada dua jenis bahaya yang terkait dengan teori konspirasi Covid-19," kata Miller.
"Satu jenis melibatkan hal-hal seperti yang kita lihat misal membakar menara 5G tetapi yang lain adalah kekhawatiran yang berpotensi lebih luas: Potensi bagi orang untuk menolak, saat tes antibodi atau menolak mendapatkan vaksin," tambahnya.
Menurut Stephan Lewandowsky, Ketua Psikologi Kognitif, Universitas Bristol dan John Cook Asisten Profesor Riset, Pusat Komunikasi Perubahan Iklim, Universitas George Mason melalui The Conversation menyatakan, bahwa pandemi memang menjadi sarang ideal untuk teori konspirasi.
Baca Juga: Pilih Vinales Ketimbang Valentino Rossi, Yamaha Dinilai Blunder
"Ketika orang menderita kehilangan kendali atau merasa terancam, itu membuat mereka lebih rentan terhadap kepercayaan konspirasi. Sayangnya, ini berarti bahwa pandemi selalu menjadi tempat berkembang biaknya teori konspirasi," tulis Lewandowsky dan Mason.

Dilansir dari The Conversation, Stephan Lewandowsky dan John Cook mencatat ada beberapa hal yang perlu Anda lakukan untuk membendung teori konspirasi terkait Covid-19.
Kembalikan Konspirasi ke Tempatnya
Menurut Lewandowsky dan Cook, strategi yang efektif untuk mencegah teori konspirasi menyebar melalui jejaring sosial yang cukup tepat adalah inokulasi atau mengembalikan konspirasi pada tempatnya.
"Pesan yang diinokulasi dapat mengambil beberapa bentuk. Selain memberi orang fakta yang benar, inokulasi juga bisa berbasis logika dan berbasis sumber," tulis mereka.
Pertanyaakan Sumber Konspirasi
Pendekatan berbasis sumber berfokus pada menganalisis orang-orang yang mendorong teori konspirasi dan infrastruktur budaya tentang dari mana mereka muncul.
Sebagai contoh, teori 5G dimulai dengan Thomas Cowan, seorang dokter yang lisensi medisnya dalam masa percobaan lima tahun. Dengan lisensi itu, dia dilarang memberikan pengobatan kanker kepada pasien dan mengawasi asisten dokter dan perawat praktik lanjut.
Jadi kredibilitasnya tentu masih bisa dipertanyakan.
Deddy dan Young Lex dalam video podcast channel Youtube juga mempertanyakan soal konspirasi pada vaksin.
Sebelumnya, salah satu tokoh utama soal anti vaksin adalah Andrew Wakefield, seorang mantan dokter dan tokoh penting dalam gerakan anti-vaksinasi.
Ia mempromosikan informasi yang sangat merusak tentang vaksinasi berdasarkan data yang diketahui telah dipalsukan.
Agar masyarakat dilindungi terhadap teori konspirasi, maka penting untuk memahami kemunculan teori tersebut. Sebab, paparan teori konspirasi bisa datang pada siapa saja, jangan mudah percaya pada retorika konspiratif ala politisi atau influencer tanpa mengtahui asal sumbernya.

Mempertanyakan Logika
Cara lain untuk menetralisir teori konspirasi adalah melalui inokulasi berbasis logika. Ini melibatkan teknik retorika dan ciri-ciri yang dapat ditemukan dalam informasi yang salah, sehingga orang dapat menandai itu sebelum memiliki kesempatan untuk menyesatkan mereka.
"Dalam Buku Pegangan Teori Konspirasi, kami mendokumentasikan tujuh ciri pemikiran konspirasi. Menemukan ini dapat membantu orang mengidentifikasi teori yang tidak berdasar," tulis Stephan Lewandowsky dan John Cook.
Salah satu sifat yang sangat menonjol dalam teori konspirasi adalah menafsirkan kembali keacakan.
Dengan pola pikir ini, peristiwa acak ditafsirkan kembali sebagai terhubung secara kausal dan ditenun menjadi pola yang lebih luas dan saling berhubungan. Milenial dan Gen-Z biasa menyebutnya dengan, cocokologi.
Misalnya, pengenalan 5G pada tahun 2019 bertepatan dengan asal Covid-19 dan karenanya ditafsirkan terkait secara kausal. Korelasi tidak sama dengan sebab akibat.
Peran Penting Platform Media Sosial
Platform media sosial berkontribusi pada masalah informasi yang salah dengan menyediakan sarana untuk menyebar dengan cepat dan bebas ke masyarakat umum.
Beberapa peneliti bahkan menyebut persebaran terori konspirasi tentang Covid-19 lebih cepat daripada virus corona itu sendiri.
Namun, media sosial juga bisa menjadi sarana untuk melaporkan berita-berita palsu termasuk konspirasi Covid-19. Misalnya, Youtube telah mengumumkan akan menghapus video apa pun yang mendukung teori konspirasi 5G.
Beberapa media lokal juga melakukan cek fakta untuk mengonfirmasi kesalahan berita palsu yang beredar pada masyarakat.