"Kita memberi tahu anak laki-laki bahwa 'anak laki-laki tidak menangis'," ujar Colman O'Driscoll, mantan direktur eksekutif operasi dan pengembangan di Lifeline.

Menurutnya, sejak kecil masyarakat mengondisikan anak laki-laki untuk tidak mengekspresikan emosi, karena hal ini menandakan bahwa mereka lemah.
Pria juga kurang mungkin mengakui ketika mereka sedang merasa rentan, baik kepada diri sendiri, teman, atau keluarga. Bahkan, mereka lebih enggan memeriksakan diri ke dokter daripada wanita.
"Pria lebih jarang mencari bantuan untuk kesehatan mental. Bukan karena pria tidak memiliki masalah yang sama dengan wanita, tetapi mereka cenderung tidak mengetahui bahwa mereka memiliki tekanan atau kondisi kesehatan mental yang menempatkan mereka pada risiko lebih besar untuk bunuh diri," jelas Jill Harkavy-Friedman, wakil presiden penelitian American Foundation for Suicide Prevention.
Jika seseorang tidak sadar akan hal itu, maka mereka kurang sadar dengan apa yang dapat mereka lakukan untuk mengatasinya.
"Hanya sepertiga dari orang yang bunuh diri berada dalam perawatan kesehatan mental pada saat itu," sambungnya.
Selain ini, ada juga faktor risiko lainnya. Termasuk berkaitan dengan keluarga, pekerjaan, atau perasaan terisolasi.
Namun, penting untuk diingat bahwa meski faktor eksternal dapat memicu perilaku bunuh diri pada seseorang yang sudah berisiko, hal itu tidak pernah menjadi satu-satunya penyebab.
Baca Juga: Instagram Ajak Orangtua 'Melek' Isu Kesehatan Mental pada Anak Remaja