Vape Bukan Alternatif Aman: Ahli Ungkap Risiko Tersembunyi yang Mengintai Paru-Paru Anda

Dinda Rachmawati Suara.Com
Rabu, 12 November 2025 | 11:32 WIB
Vape Bukan Alternatif Aman: Ahli Ungkap Risiko Tersembunyi yang Mengintai Paru-Paru Anda
Ilustrasi Vape
Baca 10 detik
  • Vape tetap berisiko, mengandung nikotin dan bahan kimia berbahaya, tegas Dr. Chin Tan Min (PCC).
  • Deteksi dini penting, kata Dr. Lim Hong Liang, karena kanker paru sering tanpa gejala awal.
  • Terapi modern seperti EGFR TKI dan immunotherapy meningkatkan harapan hidup pasien secara signifikan.

Suara.com - Belakangan, tren penggunaan vape atau rokok elektrik semakin populer di berbagai kalangan, terutama di usia muda. Banyak yang menganggap vaping sebagai alternatif yang lebih aman dibanding rokok konvensional. 

Padahal menurut para ahli, pandangan ini sangatlah keliru. Seperti yang disampaikan oleh Dr. Chin Tan Min, Senior Consultant in Medical Oncology dan ahli kanker paru di Parkway Cancer Centre (PCC), ia menegaskan bahwa vape bukanlah pilihan aman.

“Vaping tetap mengandung nikotin dan bahan kimia toksik yang dapat merusak paru dan menyebabkan kecanduan. Meski belum terbukti langsung menyebabkan kanker paru, risikonya terhadap kesehatan paru tidak bisa diabaikan,” ujarnya.

Ia menambahkan, bagi mereka yang ingin berhenti merokok atau vaping, sebaiknya melakukannya di bawah bimbingan medis. Program berhenti merokok yang terstruktur dan perubahan gaya hidup sehat jauh lebih efektif untuk menurunkan risiko kanker paru.

Dr. Chin Tan Min, Senior Consultant in Medical Oncology di Parkway Cancer Centre (Dok. Istimewa)
Dr. Chin Tan Min, Senior Consultant in Medical Oncology di Parkway Cancer Centre (Dok. Istimewa)

Kanker paru sendiri sampai saat ini masih menjadi ancaman serius bagi kesehatan global. Dikenal sebagai 'silent killer', penyakit ini kerap tidak menunjukkan gejala pada tahap awal sehingga banyak pasien baru terdiagnosis saat kondisinya sudah lanjut. 

Data Global Cancer Observatory (Globocan) 2022 menunjukkan terdapat 2,48 juta kasus kanker paru di dunia—sekitar 12,5% dari seluruh kasus kanker—dan di Indonesia angkanya meningkat dari 30.023 kasus pada 2018 menjadi 38.904 kasus pada 2022.

Dr. Lim Hong Liang, Senior Consultant in Medical Oncology dan ahli kanker paru di Parkway Cancer Centre (PCC), juga menjelaskan bahwa kanker paru berkembang ketika sel-sel abnormal tumbuh tanpa kendali di jaringan paru dan dapat menyebar ke organ lain seperti otak, tulang, dan hati.

“Batuk berkepanjangan, sesak napas, atau nyeri dada sering dianggap sepele, padahal bisa menjadi tanda awal kanker paru,” jelasnya.

Menurut Dr. Lim, terdapat dua tipe utama kanker paru, yaitu Non-Small Cell Lung Cancer (NSCLC) yang mencakup lebih dari 80% kasus dan berkembang lebih lambat, serta Small Cell Lung Cancer (SCLC) yang lebih agresif dan cepat menyebar. Karena itu, deteksi dini sangat penting.

Baca Juga: Rumah Besar, Napas yang Sempit

Dr. Lim Hong Liang, Senior Consultant in Medical Oncology di Parkway Cancer Centre (PCC) (Dok. Istimewa)
Dr. Lim Hong Liang, Senior Consultant in Medical Oncology di Parkway Cancer Centre (PCC) (Dok. Istimewa)

“CT scan dosis rendah mampu mendeteksi kanker paru sebelum gejala muncul. Semakin cepat ditemukan, semakin besar peluang untuk diobati dengan efektif,” tambahnya.

Evolusi Pengobatan Kanker Paru: Dari Kemoterapi ke Terapi Bertarget

Kedua dokter juga menyoroti evolusi pengobatan kanker paru yang kini tidak lagi bergantung sepenuhnya pada kemoterapi. Pendekatan modern seperti targeted therapy dan immunotherapy menjadi terobosan penting yang mampu meningkatkan harapan hidup pasien.

Dr. Lim menjelaskan bahwa penemuan mutasi genetik pada sel kanker, seperti mutasi EGFR, membuka jalan bagi terapi yang lebih tepat sasaran.

“Dengan targeted therapy, kami dapat menonaktifkan gen pemicu pertumbuhan kanker tanpa merusak jaringan sehat,” tuturnya.

Hasilnya, pasien kanker paru stadium lanjut yang menjalani kombinasi terapi modern ini memiliki tingkat kelangsungan hidup rata-rata 2,5–3 tahun, lebih dari dua kali lipat dibanding kemoterapi konvensional.

×
Zoomed

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI