Selain sebagai politikus, Khofifah juga merupakan kader dan aktivis perempuan ormas Islam terbesar di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama.
Karier politik perempuan kelahiran Surabaya, 19 Mei 1965 ini dimulai saat ia berusia 27 tahun ketika menjadi anggota DPR RI dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) periode 1992-1997.
Pada pemilu selanjutnya, tahun 1997, Khofifah kembali terpilih menjadi anggota DPR. Namun pada periode itu, ia hanya dua tahun duduk di parlemen.
Sebab pada 1998 terjadi peristiwa politik di Indonesia dan yang membuat rezim beralih dari Orde baru ke era Reformasi.
Ketika pemilu pertama di era reformasi digelar pada 1999, Khofifah pindah gerbong politik ke Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang dibentuk oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Saat itu, Gus Dur terpilih menjadi presiden di tahun yang sama, Khofifah didaulat menjadi Menteri Pemberdayaan Perempuan pada kabinet Persatuan Indonesia.
Nasib Khofifah di kabinet tak lama seiring jatuhnya Presiden Abdurrahman Wahid pada 2001. Setelah itu, presiden berganti menjadi Megawati Soekarnoputri dan nama Khofifah tak dimasukkan dalam kabinet.
Setelah tak lagi jadi menteri, Khofifah aktif di kegiatan sosial kemasyarakatan. Salah satunya di Muslimat, organisasi sayap perempuan NU, dimana ia memimpin organisasi itu dari 2000-2005.
Khofifah kembali menjajal politik pada 2013, ketika mencalonkan diri dalam Pilgub Jawa Timur, namun akhirnya ia kalah.
Baca Juga: KPU Pastikan Gugatan Batas Usia Minimum Capres Cawapres Tak Ganggu Tahapan Pemilu 2024
Pada Pilpres 2024, Khofifah diminta menjadi salah satu juru bicara politik pasangan Jokowi-JK. Ia lalu menuai hasilnya ketika Jokowi menang.