Suara.com - Aturan yang memuluskan langkah Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres kembali digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Kali ini, pemohon bernama Fathikatus Sakinah, Gunadi Rachmad Widodo, Hery Dwi Utomo, Ratno Agustio Hoetomo, dan Zaenal Mustofa kembali menggugat Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dalam perkara 148/PUU-XXI/2023.
Kuasa hukum mereka, Sigit Nugroho Sudibyanto menjelaskan pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) memang harus memiliki pengalaman.
Namun, dia menilai pengalaman yang dimiliki pasangan capres dan cawapres setidaknya pernah dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan gubernur.
"Bahwa memang tidak terdapat indikator yang objektif dalam menentukan seseorang telah dinyatakan matang dan berpengalaman," kata Sigit di ruang sidang MK, Jakarta Pusat, Senin (4/12/2023).
"Namun, setidaknya dalam penalaran yang wajar, seorang gubernur dengan populasi dan kompleksitas permasalahan lebih matang dan berpengalaman daripada bupati atau wali kota yang mencalonkan diri sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden," tambah dia.
Terlebih, pada Pilpres 2024 ini, ada seorang wali kota yang mencalonkan diri sebagai cawapres. Adapun sosok yang dimaksud Sigit ialah Gibran Rakabuming Raka merupakan wali kota Surakarta.
"Pada Pemilu 2024 nanti terdapat seorang calon wakil presiden yang berusia di bawah 40 tahun dan sedang menjabat sebagai walikota sehingga jika nanti terpilih sebagai pasangan presiden dan wakil presiden, maka akan merugikan para pemohon secara potensial dalam penalaran yang wajar akan terjadi jika tidak dimaknai sebagai permohonan a quo," tutur Sigit.
Dalam persidangan itu, Hakim Konstitusi Saldi Isra meminga pemohon untuk membaca putusan MK nomor 141/PUU-XXI/2023. Sebab, putusan tersebut telah memeriksa dan mengadili permohonan serupa dengan perkara ini.
Baca Juga: Gaspol! Musisi dan Band Jabar Siap Menangkan Prabowo - Gibran Satu Putaran
Putusan MK Nomor 141/PUU-XXI/2023

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan nomor 141/PUU-XXI/2023 yang mempersoalkan pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sebagaimana dimaknai putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Dalam pertimbangannya, MK pada pokoknya menegaskan bahwa putusan 90/2023 itu secara hukum telah berlaku sejak dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum. Artinya, putusan nomor 90/2023 bersifat final dan mengikat.
"Jika dikaitkan dengan ketentuan norma Pasal 10 dan Pasal 47 UU MK serta Pasal 77 Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2021, maka Mahkamah berpendapat Putusan a quo adalah putusan yang dijatuhkan oleh badan peradilan pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final," kata hakim konstitusi Enny Nurbaningsih di Gedung MK, Jakarta Pusat,, Rabu (29/11/2023).
"Terhadap putusannya tidak dapat dilakukan upaya hukum. Hal tersebut dikarenakan, Mahkamah Konstitusi sebagai badan peradilan konstitusi di Indonesia tidak mengenal adanya sistem stelsel berjenjang yang mengandung esensi adanya peradilan secara bertingkat yang masing-masing mempunyai kewenangan untuk melakukan koreksi oleh badan peradilan di atasnya terhadap putusan badan peradilan pada tingkat yang lebih rendah sebagai bentuk 'upaya hukum'," tutur dia.
MK juga menilai, adanya pelanggaran etika berat yang melibatkan eks Ketua MK Anwar Usman dalam penyusunan Putusan 90 tidak membuat putusan itu bisa disidangkan ulang dengan majelis hukum yang berbeda, sebagaimana ketentuan Pasal 17 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.