Suara.com - Pariwisata digital Indonesia terus berkembang pesat seiring meningkatnya penggunaan platform pemesanan online atau online travel agent (OTA) oleh wisatawan, baik lokal maupun mancanegara.
Namun, di balik pertumbuhan tersebut, muncul tantangan baru terkait maraknya akomodasi ilegal yang dipasarkan tanpa izin resmi.
Untuk menjaga ekosistem pariwisata yang sehat, adil, dan berkelanjutan, pemerintah melalui Kementerian Pariwisata tengah menyiapkan serangkaian kebijakan baru yang mewajibkan OTA asing mematuhi aturan dan ketentuan hukum di Indonesia.
Fokus utama diarahkan pada penertiban praktik pemasaran akomodasi ilegal yang kini marak dilakukan melalui platform digital atau online travel agent (OTA) asing, terutama di destinasi populer seperti Bali.
Wamenpar Ni Luh Puspa mengungkapkan bahwa pihaknya menaruh perhatian serius terhadap praktik-praktik usaha yang tidak sesuai ketentuan hukum nasional, terutama dalam hal pemasaran akomodasi tanpa izin resmi.
Ia menjelaskan bahwa koordinasi telah dilakukan lintas kementerian untuk menangani isu ini secara menyeluruh dan terintegrasi.
“Kementerian Pariwisata saat ini memang sedang menaruh perhatian serius terhadap praktik pemasaran akomodasi ilegal di berbagai platform digital, termasuk melalui OTA asing,” ujarnya.
Untuk itu, Kemenpar telah menjalin kerja sama dengan sejumlah kementerian terkait, termasuk Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dalam hal perizinan melalui sistem OSS, Kementerian Perdagangan terkait pengaturan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), serta Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) yang memiliki otoritas atas regulasi Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE).
“Yang kami jaga adalah level playing field-nya. Semua pelaku usaha, baik nasional maupun asing, harus tunduk pada regulasi yang sama. Prinsipnya, kolaboratif tapi tetap tegas demi pariwisata Indonesia yang berkelanjutan dan berkualitas,” tegas Puspa.
Baca Juga: Bandara Husein Sastranegara Ditutup, Wisata Bandung seperti Dibunuh Pelan-Pelan
Ia menuturkan, pemerintah pun tidak serta-merta akan memblokir keberadaan OTA asing, melainkan menggunakan pendekatan secara bertahap dan mengedepankan dialog terlebih dahulu, dengan tetap mempertahankan ketegasan sebagai prinsip dasar.
Tahapan tersebut mencakup peringatan dan evaluasi kepatuhan terhadap regulasi.
“Mekanismenya tentu tidak langsung pemblokiran, melainkan dimulai dari dialog, peringatan, dan evaluasi kepatuhan terhadap regulasi. Kami ingin memastikan ekosistem digital pariwisata kita tumbuh sehat, kompetitif, dan adil—baik untuk pelaku usaha lokal maupun konsumen,” katanya.
Namun demikian, Wamenpar menegaskan bahwa bila OTA asing tetap tidak menunjukkan komitmen untuk patuh terhadap peraturan, pemerintah tidak akan segan mengambil langkah tegas, termasuk pemblokiran akses platform dari pasar Indonesia.
Adapun salah satu langkah konkret yang tengah disiapkan adalah mendorong OTA asing untuk membentuk Badan Usaha Tetap (BUT) di Indonesia.
Hal ini sesuai dengan Permendag Nomor 31 Tahun 2023 yang memungkinkan pembentukan Kantor Perwakilan Perdagangan Asing (KP3A) untuk platform luar negeri yang ingin beroperasi di Indonesia.