Suara.com - Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur mengenai penodaan agama kembali makan korban. Termutakhir, putra bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep, dilaporkan ke Polres Bekasi Kota karena dituduh melakukan penodaan agama.
Kaesang hanya satu dari sekian banyak orang yang dilaporkan ke polisi menggunakan pasal tersebut. Tak jarang, mereka yang dilaporkan menodai agama berakhir dengan hukuman penjara.
Sebelum Kaesang, satu kasus penodaan agama yang juga menghebohkan adalah Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Ahok, yang kala itu masih menjadi Gubernur DKI Jakarta, dituduh sebagian orang melakukan penodaan agama. Dalam persidangan terakhir, ia divonis bersalah dan dipenjara selama dua tahun.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menuturkan, Pasal 156 KUHP tersebut kerapkali dipakai orang atau kelompok yang memunyai motif tertentu untuk menjerat lawan-lawannya.
“Data kami menunjukkan, sejak tahun 2007 misalnya, ada 70 kasus penodaan agama. Ini mengerikan, karena pasal itu sebenarnya bermasalah dalam hukum,” tutur Asfinawati kepada Suara.com, Kamis (6/7/2017).
Masalah utamanya adalah, tidak ada definisi mengenai penodaan agama dalam KUHP. Karenanya, pasal tersebut bisa dipakai secara leluasa oleh orang-orang yang memunyai kepentingan tertentu alias “pasal karet”.
Baca Juga: Djarot Jawab Keluhan Warga yang Ikut Program Bedah Rumah
Asfin menuturkan, definisi baku mengenai ”penodaan agama” justru ada dalam Penetapan Presiden RI Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (UU 1/PNPS/1965).
Dalam UU 1/PNPS/1965 itu disebutkan penodaan agama adalah praktik menafsirkan di luar pokok-pokok ajaran agama.
“Nah, yang patut dipertanyakan adalah, apakah arti penodaan agama dalam Pasal 156a KUHP sama dengan arti pada UU 1/PNPS/1965? Kalau sama, untuk apa lagi dipakai pasal 156a KUHP itu,” terangnya.
Kalau arti penodaan agama dalam dua peraturan itu sama, maka pemerintah harus bersikap tegas untuk meniadakan salah satunya.
Sebab, kalau keduanya dipakai sebagai opsi justru akan menyebabkan ketidakadilan lantaran tidak ada kepastian hukum terhadap orang yang terjerat kasus tersebut.
“Tentu tidak adil kalau ada kasus yang memakai UU 1/PNPS/1965 dan ada dijerat pakai Pasal 156a KUHP, karena bentuk hukumannya berbeda. UU 1/PNPS/1965 menghukum orang yang menodai agama dengan sanksi peringatan terlebih dulu. Sementara Pasal 156a KUHP langsung pidana,” jelasnya.