Itu semakin tampak ketika kerajaan berjanji menerapkan sejumlah kebijakan yang menandai reformasi kebudayaan tahun 2018.
Tahun depan, Kerajaan Saudi berencana membolehkan kaum perempuan memasuki stadion olah raga bersama laki-laki.
Kaum perempuan juga dibolehkan untuk mengunjungi tempat-tempat konser musik. Sementara wisatawan, bakal dibolehkan mengunjungi situs-situs pra-Islam.
"Pesannya adalah, segala sesuatu yang dulu diidentikkan dengan Arab Saudi, kini tak lagi ada," tutur seorang menteri senior yang tak mau namanya ditulis.
"Ini adalah sebuah revolusi," jelasnya. "Semuanya sangat sensitif. Kita harus bersabar sampai semuanya tenang. "
Perombakan budaya Saudi yang kental dengan aroma patriarkis dan feodal tersebut, dicetuskan sang pangeran bulan lalu. Ketika itu, ia bertekad "mengembalikan Arab Saudi ke Islam moderat."
Meski bertajuk reformasi, bagi banyak kalangan, ide Pangeran Mohammed itu adalah "revolusi". Sebab, perombakan itu dipastikan memecahkan aliansi pendiri Dinasti Saud dan para ulama yang sepakat menerapkan ajaran fundamentalis Muhammad ibn Abd al-Wahhab pada abad ke-17, atau kekinian disebut sebagai paham "Wahabi".
Pangeran Mohammed juga mengakui, interpretasi lebih radikal terhadap Wahabiisme terjadi juga dipengaruhi kemenangan umat Muslim Syiah dalam Revolusi Iran tahun 1979. Iran adalah saingan utama Saudi sejak yang disebut pertama memenangkan revolusi dan mendirikan Republik Islam Iran—model negara yang dianggap sebagai antitesis kerajaan Saudi yang dinilai despotik.
"Kami tidak tahu bagaimana mengatasinya (radikalisme Wahabi)," kata Pangeran Mohammed kepada Guardian. "Dan masalahnya, ide itu tersebar di seluruh dunia. Sekarang saatnya untuk menyingkirkannya. "
Baca Juga: Wanita Berjilbab Nyanyikan 'Ave Maria' di Misa Requiem Temannya
Dr HA Hellyer, anggota Atlantic Council—organisasi think-thank Amerika Serikat—justru memunyai penilaian berbeda. Ia mengatakan, retorika reformasi atau revolusi di Saudi tersebut tidak berarti para pemimpin kerajaan bakal membuang paham Wahabiisme.
"Perubahan tingkat filosofis, di mana pendirian agama Saudi bukan lagi Wahhabi? Itu akan menjadi pergeseran monumental, dan saya tidak yakin sang putra mahkota bakal mau melakukannya," terangnya.
"Jika kita mengharapkan pendekatan religius non-konservatif untuk mengakar di Saudi, saya pikir kita sedang melamun," imbuhnya.
"Tapi pertanyaannya adalah, seberapa besar masyarakat semacam itu dapat benar-benar kembali ke pandangan religius yang lebih normatif, terutama dalam waktu singkat. Pendekatannya sejauh ini tampaknya adlaah, hanya ingin menahan dorongan yang lebih radikal dari Wahabiisme," tuturnya dengan nada pesimistis.
Namun, sejumlah anggota elite bisnis Saudi yang memunyai akses reguler ke sang pangeran, tak menyetujui pendapat Hellyer.
"Pangeran Mohammed memosisikan dirinya sebagai pemimpin dunia Islam Sunni," kata seorang tokoh senior.