Reuni 212, Kapitalisasi Sentimen Agama dalam Politik

Reza Gunadha Suara.Com
Sabtu, 02 Desember 2017 | 14:06 WIB
Reuni 212, Kapitalisasi Sentimen Agama dalam Politik
Acara Reuni Akbar 212 di Halaman Monas, Jakarta Pusat, Sabtu (2/12/2017) [Suara.com/Bagus Santosa]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Ia mengatakan, selain memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW, reuni itu hanya untuk mensyukuri persatuan umat Islam pada aksi anti-Ahok tahun 2016.

" Reuni Akbar Alumni 212 bukan dalam konteks politik tertentu. Kami mengadakan ini sebagai bentuk syukur atas kebersatuan umat. Yang tidak mau bersyukur juga tidak apa-apa tidak datang, berdoa saja dari rumah,” tukas Gatot di Wisma PHI, Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Jumat.

Pemilu 2019

Sementara dua hari sebelumnya, Kamis (30/11), Kapolri Jenderal Tito Karnavian menilai acara reuni tersebut secara terang-terangan bermuatan politis.

"Ini juga tidak akan jauh-jauh dari politik juga. Politik 2018/2019 (pemilihan umum). Sudahlah, ini pasti larinya ke arah politik 2018/2019," kata Tito seusai menghadiri acara di Hotel Bidakara, Pancoran, Jakarta.

Kelompok tersebut, sejak Desember 2016 hingga Pilkada DKI Jakarta 2017 selesai, getol menggelar aksi menuntut Gubernur DKI kala itu, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dihukum karena mengutip surah Alquran dalam pidatonya.

Ahok kala itu juga berstatus calon petahana dalam pilkada, dan pada putaran kedua pemilihan harus head to head dengan Anies Baswedan yang kekinian menjadi Gubernur DKI.

"Kalau yang dulu kan banyak kepentingan politik. Jelas sekali arahnya ke mana kan. Itu kan arahnya ke gubernur yang lama. Politiknya tinggi sekali," tukas Tito.

Modal Politik

Baca Juga: Reuni 212 Tak Seramai Aksi 2016, Fahri: Setannya Sudah Tak Ada

Koordinator Setara Institute Hedardi menilai, gerakan yang lahir dari arena Pilkada DKI ini dinilai para elite bisa menjadi alat politik di masa depan. Setidaknya, serangkaian gerakan mereka bisa dimanfaatkan politik praktis.

“Perayaan 1 tahun aksi 212 telah menggambarkan secara nyata, bahwa aksi yang digagas oleh sejumlah elite Islam politik pada 2016 lalu adalah gerakan politik. Sebagai sebuah gerakan politik, maka kontinuitas gerakan ini akan menjadi arena politik baru, yang akan terus dibangkitkan sejalan dengan agenda-agenda politik formal kenegaraan,” tuturnya.

Hendardi mengatakan, menguasai ruang publik merupakan target para elite kelompok ini, untuk terus menaikkan daya tawar politik terhadap para pemburu kekuasaan atau kelompok politik yang sedang memerintah.

“Bagi mereka public space is politic (politisasi ruang publik). Jadi, meskipun gerakan ini tidak memiliki tujuan yang begitu jelas dalam konteks mewujudkan cita-cita nasional, gerakan ini akan terus dikapitalisasi (dijadikan modal untuk tawar-menawar dalam politik),” nilainya.

Hanya, gerakan 212 menggunakan pranata dan instrumen agama Islam, yang oleh banyak tokoh-tokoh Islam arus utama, justru dianggap memperburuk kualitas keagamaan di Indonesia.

Populisme agama, menurut dia, menghilangkan rasionalitas umat dalam beragama. Juga menghilangkan rasionalitas warga dalam menjalankan hak politiknya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI