“Mulai dari dalam penjara. Jadi ada teman aktivis diundang ke Timor Timur. Pulang, dia menghadiahkan topi ini. Sekitar 2005-2008.”
Teman yang memberikan topi itu kini berada di Belanda. Sebenarnya topi yang dipakai Filep sekarang ini imitasi. Topi asli dari temannya dia simpan di Papua.
Topi, pin, dan baju yang dipakai Filep menjadi masalah ketika dia baru tiba Bandara Soekarno-Hatta pada Selasa, 2 Januari 2018, malam.
Pada waktu itu, dia naik Lion Air dari Yogya, setelah menghadiri acara reunian di Kaliurang. Setelah delay sekali, pesawat terbang jam 17-an.
Di dalam Lion Air, dia duduk di seat nomor 18. Penampilannya menjadi perhatian salah satu penumpang di bagian depan. Kemungkinan, penumpang itu kemudian menghubungi petugas di Bandara Soekarno-Hatta untuk segera menahannya begitu turun dari pesawat.
Pesawat mendarat sekitar jam 21.00 WIB. Benar. Tak lama setelah itu, dia didatangi petugas.
“Permisi, kami perlu sedikit ngomong-ngomong,” kata petugas.
Filep harus masuk ke ruang khusus untuk diinterogasi.
Petugas memeriksa Filep karena dianggap membawa bendera Bintang Kejora. Filep tenang-tenang. Dia pernah menerima perlakuan yang lebih buruk dari hari itu.
Di ruangan itu, semangat Filep menggelegak. Dia ceramahi petugas-petugas itu.
“Bapak baca UUD 45, bendera itu terbuat dari kain. Ukuran dua meter kali satu meter. Ini tidak memenuhi syarat jadi bendera. Ini kan pin atau bros. Kenapa jadi masalah.”
“Saya tidak mengganggu orang, kenapa jadi masalah. Kecuali saya mengacau, itu salah saya.”
Filep tidak melakukan kesalahan. Tetapi dia baru diizinkan keluar dini hari.
Lelaki tua itu menghabiskan makan siang. Jam 13.00 WIB, tepat, Janet memulai kelas. “Mau ikut kelas.” Janet menawarkan kepada lelaki tua.
“Terimakasih.” Filep memilih tetap duduk di luar kelas. Sebentar kemudian, dia menghilang dari lantai dua.