Suara.com - Pengamat masalah keuangan dan perbankan Eko Supriyanto menilai, masalah Bantuan Luikiditas Bank Indonesia (BLBI) seolah-olah semuanya korupsi sangat tidak adil. Padahal pemerintah sudah membuat kebijakan, siapa yang kooperatif mendapat insentif dan tidak boleh kena penalti.
Apalagi bagi yang telah menyelesaikan seluruh kewajibannya, pemerintah telah mengeluarkan surat release and discharge (pembebasan dan pelepasan) dari segala tuntutan hukum.
"Untuk memberikan kepastian hukum, karena sudah menyelesaikan kewajiban MSAA. Harusnya Syafruddin Arsyad Temenggung tidak layak disidangkan," kata Eko kepada wartawan, Rabu (27/6/2018).
Syafruddin Arysad Temenggung adalah mantan Ketua BPPN yang didakwa merugikan negara Rp 4,58 triliun akibat memberikan SKL kepada Sjamsul Nursalim (BDNI).
Eko mengacu pada penyelesaian kewajiban pemegang saham melalui MSAA. Di mana lima pesertanya yakni Anthony Salim (BCA), Sjamsul Nursalim (BDNI), M. Hassan (BUN), Sudwikatmono (Bank Surya) dan Ibrahim Risyad (RSI) telah menyelesaikan kewajibannya.
"Khusus untuk PKPS BDNI, BPK RI pada kesimpulan laporan auditnya 30 November 2006 menyatakan surat keterangan lunas (SKL) layak diberikan karena pemegang saham BDNI telah menyelesaikan seluruh kewajiban yang disepakati dalam penjanjian MSAA dan perubahannya, serta telah sesuai dengan kebijakan Pemerintah dan Instruksi Presiden No.8 Tahun 2002," Eko menjelaskan.
Kasus BLBI sudah memasuki tahun ke 21 sejak dikucurkan tahun 1997. Kasus ini menjadi menarik karena persidangan terhadap Syafruddin Temenggung di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Syafruddin didakwa melakukan penyalahgunaan wewenang dalam pemberian SKL terhadap Sjamsul Nursalim, salah satu obligor BLBI Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) pada tahun 2004.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan dugaan kerugian negara dalam perkara ini mencapai Rp 4,58 triliun
Baca Juga: Laporan Fahri Berlanjut, Presiden PKS Jadi Tersangka?
Eko Supriyanto yang Direktur Biro Riset Infobank itu mengajak untuk menyegarkan ingatan bahwa tindakan pemerintah dalam menghadapi krisis perbankan pada masa itu (1997) dilakukan dengan prinsip out of court settlement, dalam bentuk Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dengan skema MSAA (Master Settlement and Acquisition Agreement), MRNIA (Master Refinancing and Notes Issuance Agreement), dan APU (Akte Pengakuan Utang).
Pemerintahan Soeharto, B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati telah membuat kebijakan penyehatan perbankan. Pada masa pemerintahan Soeharto dibentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pada Januari 1998.
Program rekapitalisasi perbankan yang tujuannya untuk mengembalikan fungsi perbankan dilakukan ketika B.J Habibie berkuasa. Lalu di era Gus Dur terbentuklah Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dengan Keppres 177/1999 yang memberikan pedoman kepada BPPN.
Pada tahun 2000, disahkan UU No.25/2000 tentang PROPENAS yang antara lain memberikan landasan kebijakan untuk memberikan insentif kepada para obligor yang kooperatif dan pemberian pinalti kepada obligor yang tidak kooperatif.
Sejak tahun 2001, pemerintahan Megawati menetapkan kebijakan-kebijakan untuk melanjutkan penanganan dampak krisis ekonomi dan kondisi perbankan – terutama terkait pengambil-alihan aset-aset obligor serta penjualan aset. Di tetapkan TAP MPR X/2001 dan TAP MPR VI/2002 yang mengamanatkan kebijakan MSAA dan MRNIA secara konsisten dengan UU Propenas.
"Jangan sampai yang sudah kooperatif masih diseret-seret. Sementara yang tidak kooperatif masih dengan lincahnya bermain-main. Jangan sampai Indonesia penuh ketidakpastian yang selalu melihat masalah krisis keuangan dan perbankan 21 tahun yang lalu dengan horizon sekarang," Eko menambahkan.