Menurut dia, apabila undang-undang itu dinilai belum sempurna, maka sebagai negara hukum terbuka ruang untuk dapat menyempurnakan undang-undang tersebut melalui mekanisme yang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
"DPR melalui fungsi pengawasan akan terus mengevaluasi saat undang-undang tersebut dilaksanakan dan akan memastikan bahwa undang-undang tersebut dilaksanakan untuk kepentingan nasional dan kepentingan rakyat Indonesia," ujarnya.
Zainal menambahkan jika dilihat dari konteks UU, UU tersebut dibuat dengan cara tidak melibatkan partisipasi publik.
Dalam penyusunan UU tersebut, kata dia, sama sekali tidak melibatkan publik karena di dalamnya ada 79 UU dan lebih dari 1.200 pasal itu dikerjakan dengan 60 kali pertemuan.
"Proses pengayaan wacana di dalamnya tidak ada, padahal 11 klaster yang ada memiliki logika dan paradigma yang berbeda. Bagaimana digabung dalam satu konteks dan dilakukan secara cepat," kata dia.
Kemudian, lanjutnya, dalam penyusunan UU tersebut tidak ada transparansi. Publik tidak mendapatkan apa-apa dari penyusunan itu. Selain itu, sebagian lembaga negara tidak mendapatkan berkas, tapi tiba-tiba sudah ada di DPR.
"Kita tidak bisa mengakses sama sekali. Padahal, partisipasi dan sosialisasi tidak bisa dilepaskan dari konteks penyusunan aturan," tuturnya.
Selain itu, penyusunan UU Cipta Kerja tidak melibatkan pemangku kepentingan yang terkait. Penyusunannya hanya dilakukan oleh orang-orang terpilih yang mendukung UU tersebut.
"Belum lagi keterlibatan internal DPR yang tidak memenuhi ketentuan tata tertib. Bisa dibayangkan bagaimana saat paripurna, masing-masing anggota DPR tidak memegang draftnya," katanya.
Baca Juga: UU Ciptaker Ditolak Rakyat, Mahfud: Tak Ada Pemerintah Mau Menyengsarakan
Dia menjelaskan setelah UU tersebut diproses persetujuan, biasanya dikembalikan ke pemerintah untuk diperbaiki pasal-pasalnya. Pada proses itu terjadi penambahan proses.