Gaya Komunikasi Publik Obama dan Trump, Ini yang Dapat Dipelajari Indonesia

Chandra Iswinarno Suara.Com
Sabtu, 16 Januari 2021 | 18:51 WIB
Gaya Komunikasi Publik Obama dan Trump, Ini yang Dapat Dipelajari Indonesia
Barack Obama dan Donald Trump. [AFP]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Secara internal, kampanye ini telah melukai bangsa secara psikologis dan melemahkan moral mereka. Ini diperburuk kenyataan bahwa tim komunikasi Trump tidak siap berganti fokus dan memitigasi krisis terkait ancaman nyata Pandemi Virus Corona.

Pemakaian masker untuk mencegah penularan Covid-19 di AS bahkan menjelma menjadi sebuah pernyataan politis: kepada kubu mana seorang individu berpihak.  Tidak bisa diprediksi teori komunikasi apa yang akan digunakan tim Presiden Trump untuk dapat kembali mengendalikan situasi yang sudah berkembang sejauh ini, dan mencapai tujuan aspirasional masyarakat AS.

Secara eskternal di luar lingkungan kawasannya, Presiden Trump membangun narasi yang semata-mata Amerika-sentris dan justru dikemas antagonistis. Misalnya; kemandirian AS berarti tidak membutuhkan kerjasama dengan negara sekutu, tidak memerlukan dukungan lembaga dunia, menuding ketidakadilan bagi AS, memandang sebelah mata negara-negara lain hingga di titik selalu siap berkonflik, dan sebagainya.

Sungguh sebuah manuver yang sejatinya makin menjauhkan AS dari klaim “Make America Great Again”. Alih-alih, ini menciptakan persepsi dunia terhadap AS sebagai sebuah masyarakat yang sedang mengalami krisis jati diri dan haus pengakuan.

Sekali lagi, hal ini meninggalkan tanda tanya besar, kemanakah titik akhir yang ingin ia tuju dari agenda settings tersebut?

Pesan dan Saluran Komunikasi di Tangan Trump

Berbagai pernyataan dan ekpresi Presiden Trump untuk audiens internal maupun eksternalnya disampaikan bahkan lebih banyak melalui media sosial (dalam hal ini dominan melalui Twitter), yang bukan pula resmi mewakili entitas negara, melainkan melalui akun pribadinya.

Ini jelas sebuah praktik yang melanggar prinsip-prinsip keamanan dan kredibilitas nasional. Bahkan hubungan dengan pers, sebagai rekan sejawat dalam praktik kehumasan negara, mengalami titik balik di masa ini.

Kerapnya lontaran dari mulut Presiden “you are a fake news” menjadi antitesis bagi mereka yang paham betapa pentingnya kerjasama dengan komunitas media. Tak terhitung aksi walk out presiden di kala ia sudah sangat terpojok dengan pertanyaan kritis pers.

Baca Juga: Mengapa Keamanan di Gedung Capitol Bisa Ditembus?

Diksi-diksi yang digunakan oleh Presiden Trump juga menarik untuk ditelaah. Ia misalnya memopulerkan istilah “sosialis”, sebuah mazhab tata kelola negara yang bisa jadi tidak sepenuhnya dimengerti oleh banyak segmen masyarakat AS sebelumnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI