Hendardi: Penindakan Terukur dan Akuntabel terhadap Teroris Dibenarkan

Siswanto Suara.Com
Kamis, 01 April 2021 | 15:36 WIB
Hendardi: Penindakan Terukur dan Akuntabel terhadap Teroris Dibenarkan
Polisi berjaga di depan gedung Mabes Polri, Jakarta, Rabu (31/3). [Suara.com/Oke Atmaja]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Setelah teror bom di Gereja Katedral Makassar pada 28 Maret 2021, terduga teroris lone wolf (tindakan sendirian) berusaha menyerang Mabes Polri, namun berhasil dilumpuhkan oleh aparat pada Rabu (1/4/2021).

Lone wolf merupakan strategi mutakhir di kalangan kelompok dan jaringan teroris. Strategi tersebut memungkinkan siapa saja menjadi aktor teroris, kata Ketua SETARA Institute Hendardi.

Hendardi menjelaskan, dua peristiwa teror terakhir di Makassar dan di Jakarta menunjukkan bahwa kelompok pengusung ideologi teror masih eksis di Indonesia, termasuk dengan menggunakan strategi lone wolf.

Jaringan Jamaah Ansharud Daulah adalah salah satu jaringan terorisme yang paling menonjol mengadopsi strategi lone wolf dalam menjalankan tindakan teror, kata Hendardi.

Hendardi mengatakan JAD mengkapitalisasi pesatnya perkembangan teknologi informasi dan memanfaatkannya secara efektif untuk melakukan proses radikalisasi di ruang publik dengan menyasar kelompok-kelompok spesifik, yang memiliki potensi transformasi secara cepat untuk menjadi intoleran aktif, radikal, lalu jihadis dan melakukan amaliyah teror.

Eksistensi kelompok teroris ini dimungkinkan karena mengendurnya kepekaan dan melemahnya partisipasi masyarakat, kata dia.

Di sisi lain, kata Hendardi, berkembang upaya untuk mendelegitimasi tindakan polisional oleh institusi-institusi keamanan negara dalam menangani terorisme. Hal itu mendorong masyarakat menjadi permisif, karena berkembang persepsi bahwa terorisme adalah konspirasi atau rekayasa pihak-pihak tertentu.

Padahal, dua aksi terakhir, misalnya, menunjukkan betapa jejaring itu nyata dan keberadaan mereka membahayakan jiwa warga masyarakat. Demi melindungi kepentingan publik dan keselamatan warga, tindakan polisional yang terukur dan akuntabel, untuk melumpuhkan teroris dan jaringannya dibenarkan, (permissible) dalam perpsektif hukum dan hak asasi manusia, kata Hendardi.

Namun, kata Hendardi, penyesatan opini yang mendeligitimasi tindakan koersif negara dalam menangani aksi terorisme masih terus berlangsung.

Baca Juga: Cuma 3 Semester Kuliah di Gunadarma, Nilai IPK Teroris Zakiah Aini Bagus

"Hal itu jelas menjadi kampanye distortif atas kinerja pemberantasan terorisme di satu sisi, dan semakin memperluas ruang radikalisasi publik dan memperkuat sikap permisif warga, di sisi lain. Padahal, ruang-ruang publik yang permisif terhadap intoleransi dan radikalisme merupakan enabling environment atau lingkungan yang membuat dan mempercepat tumbuhnya terorisme dan rekonsolidasi jaringan dan sel-sel tidur terorisme," katanya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI