Umumnya, mereka menguasai bidang pekerjaan ini dengan cara belajar dari orang lain. Seperti Tamin, dia menjadi mahir karena belajar dari adiknya.
“Cuma ngikutin sama yang ahli aja. Pertama-tama ya belajar aja, ngeliatin orang nyedot bagaimana, gitu. Oh nyedot tuh begini, oh begitu,” kata Tamin.
Selain memperoleh kepandaian dari adik, Tamin juga menyerap pengalaman teman-teman seprofesi yang lain. Misalnya dengan mendengar cerita tentang bagaimana cara menghindari semburan cairan yang memenuhi septic tank saat proses penyedotan, kemudian bagaimana memastikan bak penampungan kotoran sudah benar-benar kosong.
“Dulu pernah juga diajarin sama orang Batak. Itu pas disedot. Dipegang dari jauhan (selang). Terus setelah habis (tahi di septic tank). Disentor lagi (septic tanknya) pakai air bending, baru pakai sabun. Gitu aja.”
Untuk menangani satu unit septic tank, idealnya dibutuhkan dua orang yang disebut Tamin sebagai “kenek sama supirnya.”
“Sendiri juga bisa. Harusnya sih berdua. Kenek ama supirnya aja. Kalau saya kadang berdua ama kenek.”
Pekerjaan menguras septic tank tak membutuhkan banyak sumber daya manusia karena sebenarnya -- dalam situasi normal -- tidak terlalu rumit dan tak butuh banyak peralatan kerja.
“Hanya ini aja. Kan itu ada mesin buat nyedot, mesin vacuum. Pokoknya mesin hidup, tinggal buka keran, udah nyedot,” kata Tamin sambil menunjuk ke arah kendaraan tangki penyedot tinja yang diparkir di depan rumah.
“Septic tank itu kalau udah penuh ya kelihatan, begitu dibuka tutupnya. Udah. Kita sedot.”
Baca Juga: Kisah Cinta Dua Orang Tunanetra
Biaya sedot tinja