Suara.com - Sejumlah karangan buka berjajar di Bronggalan Sawah IV Surabaya. Pengirimnya berbagai instansi, dari TNI Angkatan Laut, Ketua DPRD Surabaya, Wakil Wali Kota Surabaya hingga staf Pascasarjana Universitas Widya Mandala Surabaya.
Di depan rumah dua tingkat berpagar besi hijau, berdiri dua tenda terop dengan kursi berjajar yang sebagian diduduki oleh tetangga, kerabat dan keluarga. Tampak juga beberapa personel TNI AL.
"Silakan duduk mas," kata Untung, seorang pria berusia lanjut, pemilik rumah yang merupakan ayah kandung Suheri.
Suheri adalah seorang aparatur sipil negara berpangkat Pengatur Muda Tk. I. III/b. Dia adalah satu dari 53 orang awak KRI Nanggala-402 yang mengalami musibah di Perairan Utara Bali.
Suheri, sehari-harinya berdinas dan menjabat sebagai Asembling-Diasembling/Subbag Senjata Khusus Torpedo/Bagian Uji Coba di Arsenal Dissenlekal Mabesal.
ASN ini mempunyai keahlian khusus di bidang senjata torpedo sehingga kesehariannya berkecimpung di bidang senjata berisiko tinggi, apalagi senjatannya bersifat khusus.
Di dalam ruang tamu rumah, seorang perempuan berjilbab dengan mata sembab menerima kedatangan rekan-rekannya. Dia adalah Siti Nurbaya, istri Suheri.
Sehari-hari, Siti Nurbaya berprofesi sebagai guru di salah satu SD negeri di kawasan Kapasari Surabaya.
Saat rekan seprofesinya datang, tangisnya pecah. Temannya mencoba menguatkan dan memberi dukungan agar tetap sabar, tabah dan ikhlas menerima ujian ini.
Baca Juga: Hotman Paris Ingin Bantu Biaya Pendidikan Anak Kru KRI Nanggala 402
"Saya bilang ke menantu (Siti Nurbaya). Kamu boleh nangis, tapi jangan terlalu berlebihan. Kasihan suamimu. Tangisanmu juga tidak bisa membuat Suheri kembali," ucap Untung bercerita, saat menguatkan menantunya setelah menerima kabar dari TNI AL terkait kondisi Nanggala-402 beserta seluruh awaknya.
Kakek berusia 71 tahun tersebut mengaku lebih kuat saat menerima kabar anaknya yang turut dalam tugas KRI Nanggala-402.
Profesi yang hampir sama dengan anaknya tersebut membuatnya lebih tegar dan memahami risiko yang dihadapi anaknya saat bekerja.
"Saya dulu kerjanya sama dengan Heri ini (panggilan Suheri), juga sebagai ASN, tapi saya bukan di kapal selam. Saya juga sering berpesan kepada dia tentang pekerjaannya," ucapnya.
"Heri ini generasi keempat. Dulu, kakek saya atau kakek buyutnya Heri, juga kerja di bidang Arsenal," kata Untung, menambahkan.
Ia terakhir bertemu anaknya pada Senin (19/4), saat berpamitan hendak bekerja. Tak ada yang aneh saat meminta izin, karena saat akan berlayar juga selalu pamit.