"Karena, ketika kepercayaan terhadap media berkurang, terus kemudian ditambah seruan untuk tidak membaca berita, ini akan membahayakan masyarakat karena mereka tidak dapat mendapatkan informasi yang valid terhadap penanganan Covid di berbagai daerah," tegas Sasmito.
Polisi Jadi Aktor Utama Kekerasan
Hal yang cukup ironis dan membikin kita mengelus dada, serangkaikan kekerasan terhadap jurnalis justru dilakukan oleh polisi. Seharusnya, aparat berbaju cokelat itu menjaga keselamatan warga -- termasuk jurnalis.
"Ini justru jadi aktor utama dalam kasus kekerasan terhadap jurnalis," kata Sasmito.
Dari beberapa kasus kekerasan yang dilaporkan AJI, ke Mapolda Metro Jaya, tampaknya hingga kini masih mandek atau jalan di tempat. Kasus yang dilaporkan itu adalah kekerasan terhadap jurnalis yang meliput aksi massa secara besar-besaran.
Ketika AJI bertanya soal perkembangan laporan itu, jawaban polisi terkesan tidak ada keseriusan untuk mengusut tuntas kasus tersebut. Sasmito mengatakan, hal itu terlihat jelas ketika polisi memberikan surat jawaban pihak AJI dalam sebuah kop surat.
"Di kop surat itu ada yang ditulis kasusnya sudah selesai, tapi di dalam suratnya isinya justru berbeda dengan apa yang ada di kop suratnya. Misal, masih dalam penyelidikan," beber dia.
Atas hal itu, AJI melihat tidak ada keseriusan aparat kepolisian untuk menyelesaikan kasus kekerasan terhadap jurnalis. Contoh serupa juga terjadi pada tiga kasus yang dilaporkan di Makassar beberapa waktu lalu.
"Sebenarnya obat yang paling mujarab agar kasus kekerasan ini bisa turun bahkan hilang, pertama yang harus dilakukan adalah penegakan hukum ya, terhadap kasus kekerasan terhadap jurnalis salah satunya menggunalan pasal pidana di UU pers. Jadi kami mendorong agar apaprat penegak hukum supaya mengusut kasus secara tuntas," imbuh dia.
Baca Juga: Kriminalisasi Pembela HAM di Era Pandemi: Ditangkap Dalih Langgar Prokes hingga Dicovidkan