Hal tersebut tidak sejalan dengan maksud "asas kejelasan rumusan" dalam UU 12/2011 yang menghendaki agar setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
Jika terdapat kebutuhan baru sesuai dengan dinamika kondisi kekinian yang berkembang dalam pembentukan peraturan perundangundangan, menurut hakim konsitusi, maka terbuka ruang untuk melakukan perubahan terhadap Lampiran UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Artinya, ihwal teknis atau metode tersebut dirancang untuk selalu dapat mengikuti atau adaptif terhadap perkembangan kebutuhan, termasuk jika akan dilakukan penyederhanaan peraturan perundang-undangan dengan metode apapun, termasuk metode "omnibus law".
Apabila proses melakukan perubahan atas suatu UU tidak dapat terselesaikan sesuai dengan yang direncanakan dan penyelesaian tersebut baru dapat dilakukan ketika dibentuk UU 11/2020, hal tersebut tidak berkorelasi sematamata dengan persoalan waktu yang lama sebagai penyebab tidak terselesaikan RUU yang telah direncanakan, melainkan terdapat sebab-sebab lain.
Namun sebab lain tersebut tidak boleh menjadi alasan untuk mengambil "jalan pintas" pembentukan UU dengan tidak menggunakan ketentuan tata cara pembentukan UU yang telah ditentukan dalam UU 12/2011 sebagai panduan atau pedoman baku atau standar.
Salah Ketik dan Salah Kutip

MK menemukan setidaknya 8 fakta hukum perbedaan antara naskah RUU Ciptaker yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden dengan UU 11/2020 setelah disahkan/diundangkan. MK juga mendapati satu kesalahan pengutipan rujukan pasal.
Salah kutip tersebut yaitu:
- Pada halaman 151-152 RUU Ciptaker (yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden) yang mengubah beberapa ketentuan UU No 20 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi terdapat perubahan atas Pasal 46. Namun, pada halaman 227-228 UU 11/2020 (setelah disahkan/diundangkan), pasal 46 tersebut tidak termuat lagi dalam Perubahan UU 22/2001.
- Pada halaman 388 RUU Ciptaker (yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden) mengubah UU No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas terdapat perubahan atas ketentuan Pasal 7 ayat (8) yang semula berbunyi "Usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf e merupakan usaha mikro dan kecil sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang usaha mikro, kecil, dan menengah". Namun pada halaman 610 UU 11/2020 (setelah disahkan/diundangkan) ketentuan Pasal 7 ayat (8) diubah menjadi "Usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf e merupakan usaha mikro dan kecil sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai Usaha Mikro dan Kecil". Perubahan tersebut menghilangkan kata "menengah".
- Pada halaman 390 RUU Cipkater (yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden) yang mengubah Pasal 153D ayat (2) UU 40/2007, yaitu "Direktur berwenang menjalankan pengurusan …" namun pada halaman 613 UU 11/2020 (setelah disahkan/diundangkan) ketentuan Pasal 153D ayat (2) diubah menjadi berbunyi "Direksi berwenang menjalankan pengurusan...", artinya mengganti kata "Direktur" menjadi kata "Direksi"
- Pada halaman 391 RUU Ciptaker (yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden) yang mengubah Pasal 153G ayat (2) huruf b UU 40/2007 semula berbunyi "jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir", namun pada halaman 614 UU 11/2020 (setelah disahkan/diundangkan) Pasal 153G ayat (2) huruf b menjadi "jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam pernyataan pendirian telah berakhir”. Sehingga menghilangkan frasa "anggaran dasar" menjadi "pernyataan pendirian".
- Pada halaman 390 RUU Ciptaker (yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden) yang mengubah pasal 153 UU 40/2007 semuila "Ketentuan mengenai biaya Perseorangansebagai badan hukum diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang penerimaan negara bukan pajak", namun UU 11/2020 (setelah disahkan/diundangkan) ketentuan Pasal 153 diubah menjadi "Ketentuan mengenai biaya Perseroan sebagai badan hukum diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penerimaan negara bukan pajak", artinya mengubah kata "Perseorangan" menjadi "Perseroan"
- Pada halaman 374 RUU Ciptaker (yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden) mengubah pasal 100 UU No 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, semula berbunyi "Inkubasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 bertujuan untuk …” dan pasal 101 berbunyi "Sasaran pengembangan inkubasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 meliputi …". Namun pada halaman 586-587 UU 11/2020 (setelah disahkan/diundangkan) rujukan Pasal 100 diubah menjadi "Inkubasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 bertujuan untuk …”. Selanjutnya, rujukan ketentuan Pasal 101 diubah menjadi berbunyi "Sasaran pengembangan inkubasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 meliputi …".
- Pada halaman 424 RUU Cipkater (yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden) yang mengubah UU No 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi, terdapat angka 3 yang berbunyi "Di antara Bab VI dan Bab VII disisipkan 1 (satu) bab yaitu Bab VIIA. Namun terdapat ketidaksinkronan antara angka 3 dengan judul Bab yang selanjutnya pada halaman 669 UU 11/2020 (setelah disahkan/diundangkan).
- Pada halaman 492-494 UU 11/2020 (setelah disahkan/diundangkan) mengubah UU No 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah terdapat angka 1 mengenai perubahan terhadap ketentuan umum Pasal 1 angka 11 dan angka 19 UU 8/2019 yang selanjutnya ditulis lengkap Pasal 1 Ketentuan Umum perubahan UU 8/2019 menjadi sebanyak angka 1-20. Namun, dalam UU 8/2019 yang asli terdapat ketentuan umum mulai dari angka 1-28 sehingga adanya perubahan tersebut menghilangkan kepastian hukum atas keberlakuan Pasal 1 Ketentuan Umum mulai angka 21-28.
Sementara salah pengutipan dalam rujukan pasal terjadi pada pasal6 UU 11/2020 yang menyatakan "Peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a meliputi:...”. Sementara, materi muatan Pasal 5 menyatakan "Ruang lingkup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi bidang hukum yang diatur dalam undang-undang terkait".
Baca Juga: MK Perintahkan UU Cipta Kerja Harus Direvisi: Bukti Pembahasannya Bermasalah
Terlepas dari konstitusionalitas, menurut hakim MK, norma ketentuan UU 11/2020 yang seharusnya dijadikan rujukan terdapat dalam Pasal 4 huruf a yang menyatakan "Dalam rangka mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, ruang lingkup UU ini mengatur kebijakan strategis Cipta Kerja yang meliputi: a. peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha;...".
"Dengan demikian, hal ini membuktikan telah ada kesalahan pengutipan dalam merujuk pasal sehingga hal tersebut tidak sesuai dengan asas 'kejelasan rumusan' yang menyatakan bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya," ungkap hakim MK.
Ketiga, terkait dengan asas "keterbukaan", dalam persidangan terungkap fakta pembentuk undang-undang tidak memberikan ruang partisipasi kepada masyarakat secara maksimal.
"Sekalipun telah dilaksanakan berbagai pertemuan dengan berbagai kelompok masyarakat pertemuan dimaksud belum membahas naskah akademik dan materi perubahan undang-undang a quo sehingga masyarakat yang terlibat dalam pertemuan tersebut tidak mengetahui secara pasti materi perubahan undang-undang apa saja yang akan digabungkan dalam UU 11/2020. Terlebih lagi naskah akademik dan rancangan UU Cipta Kerja tidak dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat," kata hakim konsitusi.
Maka MK berpendapat proses pembentukan UU 11/2020 adalah tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945, sehingga harus dinyatakan cacat formil.
Namun ada empat hakim konsitusi yang mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion). Pendapat berbeda pertama diajukan dua hakim yaitu Arief Hidayat dan Anwar Usman yang menyatakan tidak ada alasan untuk menolak penerapan metode "omnibus law" meskipun belum diatur secara eksplisit dalam undang-undang pembentukan peraturan perundang-undangan.