Golkar Kaji Serius Perpanjangan Jabatan Presiden Jokowi

Iwan Supriyatna Suara.Com
Jum'at, 25 Februari 2022 | 19:28 WIB
Golkar Kaji Serius Perpanjangan Jabatan Presiden Jokowi
Ketua Fraksi Partai Golkar, Melchias Markus Mekeng (tengah), di DPR, Rabu (28/3/2018). [Suara.com/Dian Rosmala]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Partai Golkar (PG) akan mengkaji serius wacana perpanjangan masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi). PG berpandangan perpanjangan jabatan presiden bukan hal yang tabu untuk dibicarakan.

“Yang tidak bisa diubah hanya Kitab Suci. Di luar itu, semua bisa diubah, asal melalui mekanisme konstitusi,” kata Wakil Ketua Umum PG Melchias Markus Mekeng di Jakarta, Jumat (25/2/2022).

Ia menjelaskan keinginan memperpanjang masa jabatan Presiden Jokowi karena adanya permintaan masyarakat, baik disampaikan ke Ketua Umum PG Airlangga Hartarto maupun kepada anggota DPR RI dari Fraksi PG. Sebagai partai politik (Parpol) yang memperjuangkan aspirasi masyarakat, PG harus merespon permintaan tersebut.

“Tentu harus melibatkan semua Parpol di parlemen dan unsur DPD RI. Bagaimana sikap PDIP, Gerindra, PKB, Nasdem, Demokrat, PAN, PPP, PKS dan DPD RI. Golkar siap membahas sesuai mekanisme konstitusi,” ujar Mekeng.

Dia menyebut yang paling penting dari ide perpanjangan jabatan Jokowi adalah dari sisi ekonomi. Ekonomi Indonesia akan terganggu atau defisit semakin dalam jika tahun 2024 dilaksanakan Pemilu. Padahal ekonomi Indonesia saat ini saja belum berjalan normal dan defisit anggaran masih tinggi.

Menurut anggota Komisi XI DPR ini, mulai tahun 2023 ini, defisit APBN tidak boleh lebih dari 3 persen. Artinya, defisit anggaran negara kembali ke aturan UU keuangan negara yaitu berada dibawah 3 persen.

Selama pandemi Covid 19, defisit anggaran dibolehkan berada di atas 3 persen. Pembiayaan negara juga banyak ditopang oleh utang. Tahun 2021, utang negara mencapai Rp 1.100 triliun. Tahun 2022 ini sedikit berkurang karena ekonomi sudah mulai membaik yaitu Rp 600 triliun. Sementara tahun 2023, sudah tidak boleh hutang lagi.

“Kalau sudah tidak boleh utang lagi, maka pemerintah harus jeli mencari penerimaan negara. Artinya, penerimaan pajak harus meningkat, investasi harus meningkat, Produk Domestik Bruto (PDB) harus naik. Kita tahu selama Covid 19, pembiayaan negara lebih banyak ditopang oleh utang karena penerimaan negara berkurang. Nanti kalau sudah ada hiruk-pikuk Pemilu 2024, bagaimana meningkatkan penerimaan negara. Pasti tersendat. Ini bahaya,” jelas Mekeng.

Dia menegaskan dalam kondisi penerimaan negara yang kurang dan utang tidak boleh, negara dituntut untuk mengurangi angka kemiskinan. Di sisi lain, berbagai bantuan yang ada selama ini seperti Bansos, dan PKH, tidak boleh langsung berhenti. Karena berbagai bantuan tersebut untuk menjaga masyarakat tidak jatuh miskin. Selain itu untuk menjaga daya beli masyarakat agar roda ekonomi tetap jalan.

Baca Juga: Resmikan Jalan Tol Manado-Bitung, Presiden Jokowi Berharap Muncul Pertumbuhan Ekonomi Baru

“Jika hutang tidak boleh dan semua bantuan ditarik karena menjelang Pemilu, bagaimana ekonomi bisa bergerak. Ekonomi bisa tambah hancur kalau semua itu ditarik,” tegas Mekeng.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI