Suara.com - Presiden baru Korea Selatan, Yoon Suk-yeol, berjanji akan lebih tegas menindak jiran di utara. Namun kemenangan kandidat konservatif itu menyiagakan kelompok perempuan, lantaran sikapnya yang memusuhi gerakan feminisme.
Yoon Suk-yeol menyebut kekalahan kandidat Partai Demokrat, Lee Jae-myung, dalam Pemilu Kepresidenan 2022 adalah "kemenangan bagi bangsa Korea Selatan.”
Presiden baru Korea Selatan itu melontarkan hal ini di hadapan pendukungnya, Kamis (10/3). Ungkapan itu tidak selaras dengan perolehan suara kedua kandidat yang terpaut hanya satu persen.
Yoon mendapat 48,5 persen, sementara pesaingnya mendapat 47,8 persen suara. Kedua kandidat dinilai sedemikian tidak populer, media-media lokal menjuluki pemilu kali ini sebagai "kompetisi antara tokoh nonfavorit.”
Kendati begitu, tingkat keikutsertaan pada pemilu kali ini tergolong tinggi, yakni 77 persen. Partisipasi warga juga tidak mengendur di tengah gelombang tinggi kasus Covid-19, dengan 343.446 kasus baru pada Rabu (9/3), sementara satu juta penduduk masih menjalani isolasi mandiri.
"Apa yang negeri ini butuhkan adalah perubahan,” kata seorang pemilih berusia 71 tahun, Hong Sung-cheon kepada kantor berita AFP.
Bagi Vladimir Tikhonof, Guru Besar Studi Korea di Universitas Oslo, Yoon "tampak agresif dan ambisius, dan dia sukses mengonsolidasikan dukungan dari sebagian besar elit negeri.”
Kedua parpol yang bersaing di Korsel menganut dua kutub ideologi yang berbeda.
Partai Kekuatan Rakyat yang dipimpin Yoon dikenal lewat kebijakan fiskal dan keamanan yang sangat konservatif, terutama jika dibandingkan dengan haluan liberal yang dijalankan bekas Presiden Moon Jae-in selama lima tahun terakhir.
Baca Juga: Hadapi Korea Utara, Jepang dan Korsel Perkuat Hubungan dengan Amerika Serikat
Antifeminisme menangkan pemilu "Yoon Suk-yeol punya banyak misteri yang membuatnya sulit ditebak", kata Karl Friedhoff dari wadah pemikir, Chicago Council on Global Affairs.