Suara.com - Kemenangan Ferdinand Marcos Jr. dalam pemilihan presiden Filipina menentukan masa depan hubungan negara itu dengan Cina dan Amerika Serikat. Namun, bukan rahasia jika Marcos berupaya mendekatkan diri dengan Beijing.
Ferdinand "Bongbong” Marcos Jr. berhasil meraup lebih dari 31 juta dukungan atau sekitar 58,76 persen suara pada Rabu (11/05) dalam penghitungan sementara pemilihan presiden Filipina. Sementara pemimpin oposisi dan Wakil Presiden Leni Robredo tertinggal jauh, dengan hanya mengantongi kurang dari 15 juta atau 28,04 persen suara.
Jika hasilnya tetap, Marcos Jr. akan menjabat pada akhir Juni 2022 untuk masa jabatan enam tahun dengan Sara Duterte, putri Presiden Rodrigo Duterte, sebagai wakil presidennya.
Kemenangan besar yang diraih Marcos Jr. ini meningkatkan kekhawatiran terkait erosi demokrasi di Asia dan berpotensi memperumit upaya Amerika Serikat untuk menumpulkan pengaruh dan kekuatan Cina yang berkembang di Pasifik.
Hubungan dengan Cina dan AS
Marcos Jr., putra mantan diktator Filipina Ferdinand Marcos, memiliki hubungan yang telah terjalin lama dengan Cina dan sedang mencari kesepakatan baru dengan Presiden Xi Jinping atas perairan yang diperebutkan di Laut Cina Selatan.
Di sisi lain, hubungan Marcos Jr. dengan Amerika Serikat diperumit oleh insiden terkait perintah pengadilan di AS, di mana dia menolak bekerja sama dengan Pengadilan Distrik Hawaii yang pada 1995 memerintahkan keluarga Marcos untuk membayar 2 miliar dolar AS dari kekayaan yang dijarah kepada para korban pemerintahan Marcos.
Persahabatan Marcos Jr. dengan negara Cina Filipina adalah titik temu persaingan geopolitik antara AS dan Cina, dengan wilayah maritimnya meliputi bagian dari Laut Cina Selatan, jalur strategis dan kaya sumber daya, di mana Cina juga mengklaim kedaulatannya.
Pada 2016, Pengadilan Arbitrase Tetap Internasional menyatakan Cina tidak memiliki dasar hukum untuk mengklaim wilayah perairan di Laut Cina Selatan.
Baca Juga: Profil Bongbong Marcos Jr, Presiden Terpilih Filipina Anak Ferdinand Marcos Sang Diktator
Namun, dalam wawancaranya saat kampanye pilpres, Marcos Jr. mengatakan bahwa keputusan pengadilan tersebut "tidak efektif" karena Cina tidak mengakuinya.
Dia akan mencari kesepakatan bilateral dengan Cina untuk menyelesaikan perbedaan antara Filipina dan Cina. "Jika Anda membiarkan AS masuk, Anda menjadikan Cina musuh Anda,” katanya kepada Radio DZRH.
"Saya pikir kita bisa mencapai kesepakatan (dengan Cina). Faktanya, orang-orang dari kedutaan Cina adalah teman saya. Kami telah membicarakan hal itu."
Seorang juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina mengatakan pada hari Rabu (11/05), bahwa kedua negara "saling berhadapan di seberang perairan, menikmati persahabatan tradisional yang sudah berlangsung lama" dan Cina tetap "berkomitmen untuk bertetangga baik" di bawah pemerintahan yang akan datang.
Antonio Carpio, mantan Hakim Mahkamah Agung yang memimpin tim hukum Filipina di pengadilan arbitrase, mengatakan sikap Marcos adalah "pengkhianatan".
"Dia memihak Cina melawan Filipina," katanya. Rommel Banlaoi, pakar keamanan yang berbasis di Manila, mengatakan Marcos Jr. menginginkan hubungan yang lebih bersahabat dengan Cina, tetapi tidak dengan mengorbankan wilayah.