"Dengan belum adanya bukti ihwal pengkajian dan penelitian secara komprehensif tersebut, maka keinginan para Pemohon sulit dipertimbangkan dan dibenarkan oleh Mahkamah untuk diterima alasan rasionalitasnya, baik secara medis, filosofis, sosiologis, maupun yuridis," bunyi pernyataannya.
Direktur Eksekutif ICJR, Erasmus Napitupulu menguraikan kekecewaannya terhadap putusan tersebut.
Ia menangkap kekhawatiran MK akan adanya penyalahgunaan terkait Narkotika Golongan I, namun mengatakan penyalahgunaan narkotika dapat terjadi setiap saat.
Erasmus juga mencontohkan bagaimana para ibu penggugat bisa menggunakan obat yang selama ini diresepkan dengan bertanggung jawab.
"Obatnya adik-adik kami ini tingkat ketergantungannya tinggi. Ini obat yang tidak bisa didapatkan di apotek.
"Kalau ibu-ibu mau, [obat] itu bisa disalahgunakan, tapi enggak karena tujuannya memang untuk pelayanan kesehatan. Tujuannya untuk kemanusiaan."
Bukan akhir perjuangan
Sebanyak enam ahli yang beberapa di antaranya berasal dari Inggris, Thailand dan Korea Selatan telah memberikan keterangan sebagai bentuk pembelaan terhadap para Pemohon.
Thailand adalah satu-satunya negara Asia yang sudah melegalisasi ganja untuk tujuan pengobatan.
Australia, Amerika Serikat, Inggris, Selandia Baru dan beberapa negara lainnya sudah mengizinkan penggunaan ganja untuk keperluan medis.
Baca Juga: 5 Fakta MK Tolak Legalisasi Ganja Medis, DPR: Masih Ada Jalan
MK mengetahui hal ini namun mengatakan bahwa fakta tersebut "tidak dapat dijadikan parameter bahwa semua jenis narkotika dapat dimanfaatkan untuk pelayanan kesehatan yang dapat diterima dan diterapkan semua negara."