Jalanan di barat Jakarta macet sehabis hujan deras tak henti-henti mengguyur sejak sore. Alhasil, saya datang terlambat 20 menit dari perjanjian, pukul 18.20 WIB.
Eli tersenyum ramah, “Hai, Erick ya ? Kita langsung ke atas saja ya.”
Saat hendak masuk ke sebuah flat di lantai duapuluh enam, Eli menyentuh benda berisi gulungan kertas yang tertempel di samping pintu. Puntalan itu berisi kertas yang tertoreh ayat-ayat doa.
Secara tradisi, setiap Yahudi ortodoks harus menyentuh gulungan yang disebut Mezuzah itu kalau hendak masuk ke dalam rumah sesamanya.
“Ini basecamp kami, Yahudi ortodoks di Jakarta. Kami juga terkadang sembahyang di sini.”
Ruang utama flat berisi rak-rak berwarna putih yang menempel di dinding. Sejumlah peralatan ibadah Sabat terjejer di atas rak.
Menorah atau kandil lilin bercabang dari logam yang digunakan saat makan-makan dan berdoa, Cawan Eliyahu buat memulai Sabat, Kipah—kopiah khas orang Yahudi—dan beberapa ornamen lain diletakkan di rak tersebut.
Sabat adalah hari tanpa bekerja dan bebas dari aktivitas, yang dimulai dari Jumat menjelang matahari terbenam hingga Sabtu menjelang malam.
Sejumlah kitab Torah juga tersusun rapi di rak. Begitu pula kain putih dan kain hitam yang terdapat bordir tulisan berbahasa Ibrani.
Baca Juga: Jalan Sunyi Agama Baha'i
“Kita makan dulu sebelum wawancara,” ajak Eli.