"Deradikalisasi di sini benar-benar dipahami dalam istilah deradikalisasi kognitif, mengubah ide seseorang. Dan itu mungkin saja terjadi, tetapi butuh waktu. Dan sulit untuk dipaksakan."
"Dari apa yang Umar Patek katakan [tentang dia yang dideradikalisasi], Anda harus mempertanyakan pemikiran dia sekarang seperti apa, tetapi kelihatannya dia telah berhasil melepaskan diri dari jaringan lamanya ... dan kalau pun dia mencoba untuk terlibat kembali, ia berada di bawah pengawasan, jadi risikonya tidak terlalu tinggi."
Profesor Barton mengapresiasi program deradikalisasi yang dilakukan di Indonesia, tetapi perlu perbaikan dalam mengkomunikasikan hal tersebut dengan publik internasional, termasuk Australia yang terdampak langsung peristiwa Bom Bali.
"Saya memahami logika bagaimana pentingnya arti Patek mengikuti upacara pengibaran bendera ... karena jika seseorang masih menolak NKRI dan mengatakan itu bukan negara yang sah, ini pertanda mereka masih punya pandangan politik yang ekstrem," ujarnya menambahkan ini bisa diartikan sebagai persiapan untuk dibebaskan.
"Tetapi dalam hal mengkomunikasikannya kepada publik internasional hanya dengan mengatakan 'jangan khawatir tentang pembuat bom ini karena ia sekarang sudah mengibarkan bendera dan menyanyikan lagu kebangsaan', ini yang mungkin tidak masuk akal untuk mereka."
Bagaimana dengan kemungkinan 'kambuh'?
Sama seperti Sofyan yang dulu bebas bersyarat, Umar Patek juga nanti akan menjalani wajib lapor dan terus diawasi aktivitasnya.
"Saya dulu selama tiga tahun, dari 2016 sampai 2019, wajib lapor setiap bulan kepada lapas."
Selain itu, Sofyan mengatakan ada petugas dari BNPT dan Densus yang datang secara berkala ke kediamannya untuk melihat langsung aktivitasnya setelah bebas.
Sepanjang 2011 sampai 2021, IPAC mencatat ada setidaknya 850 orang napi teroris yang dibebaskan, baik karena masa hukumannya sudah selesai maupun bebas bersyarat.
Baca Juga: Umar Patek Bisa Segera Bebas, Keluarga Korban Bom Bali di Australia Kecewa
Muhamad Syaiqullah, peneliti dari Universitas Indonesia, mengatakan angka mereka yang kemudian kambuh menjadi residivis teroris kecil sekali yakni hanya kurang dari lima persen.