Fachri berangkat Juni lalu bersama 12 orang lainnya.
Rutenya dari Bali ke Ho Chi Minh, Vietnam, dengan pesawat dan lalu dengan mobil menuju Sihanoukville, Kamboja.
Menurut Fachri, perjalanannya dari Bali sampai ke Sihanoukville relatif mulus.
"Tidak ditanya apa-apa sama sekali di bandara, juga oleh polisi di perbatasan Vietnam-Kamboja."
"Sejak dari Bali semua paspor kami sudah dipegang oleh orang dari pihak agen dan dia yang mengarahkan kami … dan kami juga dibekali tiket pulang ke Indonesia dan bukti reservasi hotel karena kami semua pura-puranya turis."
Sehari setelah ia tiba di Sihanoukville, Fachri langsung disuruh bekerja. Tapi sebelumnya, ia diminta menandatangani kontrak.
"Saya tanya, ini isinya apa? Karena tulisannya huruf China, saya tidak mengerti."
"Tapi dia bilang, 'tanda tangani saja, itu kontrak biasa', jadi mau tidak mau saya tanda tangani dan [bubuhi] sidik jari."
Hukuman jika tak penuhi target
Tugas pertama Fachri sebagai "marketing" adalah membuat akun sosial media palsu dengan menggunakan foto-foto perempuan cantik yang menggoda."
Dengan akun-akun palsu itu ia kemudian diminta untuk "mencari customer" dengan menambahkan teman di akun medsos dan mulai berkomunikasi intensif selama tiga sampai 5 hari.
"Kami juga diajarkan cara memindahkan GPS … misalnya, lokasi kami kan di Kamboja, nah itu GPS-nya dipindahkan ke kota besar di Indonesia seperti Jakarta atau Surabaya supaya tidak kena blokir."
Setelah dirasa sudah cukup dekat dengan "customer", Fachri mengatakan tugas selanjutnya adalah meminta atau mengarahkan customer untuk menginvestasikan sejumlah dana di platform investasi.
"Awalnya cukup Rp20 ribu saja per customer per hari, tapi kemudian [kami kami ditargetkan] harus mendapat Rp5 juta per customer per hari, dan kalau tidak mencapai target kami dihukum push-up 100 kali dan denda $20."
Target dari perusahaan kepada Fachri yang terakhir adalah minimal Rp550 juta per bulan dari total customer.
"