Namun ia mengakui, "ada kompleksitas persoalan di negara setempat".
Sehari setelah pertemuan Menlu RI dengan Kepolisian Kamboja, muncul pemberitaan di Khmer Times dengan judul "Misinformation: Sihanoukville Police deny rescuing 62 foreigners over the weekend who had been tricked into working for a scam syndicate".
"
"Ini menimbulkan dugaan bahwa kepolisian Sihanoukville tidak berkenan menunjukkan kepada publik di kamboja bahwa memang ada penyekapan serta eksploitasi pekerja asing yang terjadi di Sihanoukville."
"
Setelah empat bulan menyangkal, Wakil Perdana Menteri Kamboja Sar Kheng akhir bulan lalu, mengakui bahwa warga negara asing telah diperdagangkan ke negara itu dan menjadi sasaran pelecehan, dan mengatakan telah menyelamatkan 865 korban.
Wakil ketua tetap Komite Nasional untuk Penanggulangan Perdagangan (NCCT) Kamboja, Chou Bun Eng, mengatakan kepada ABC apa yang sedang terjadi adalah "kejahatan baru yang berbahaya" dan yang harus diselesaikan bersama oleh semua negara di kawasan itu.
Menurutnya Kamboja sendiri tidak dapat mencegahnya.
"Operasi ini telah mendiskreditkan Kamboja, namun harap dipertimbangkan baik-baik bahwa kami juga negara korban," katanya.
Beberapa pejabat Kamboja sebelumnya mengklaim laporan dugaan perdagangan dan pelecehan hanyalah perselisihan perburuhan dan Chou mengatakan pihak berwenang telah menyelidiki beberapa kasus yang mereka klaim dibuat-buat atau palsu.
"Jadi tudingan bahwa semua kasus perdagangan manusia itu tidak benar," katanya.
Pekerjaan rumah Pemerintah Indonesia
Berdasarkan laporan yang diterima Migrant Care Indonesia, terjadi juga sejumlah penyekapan dan kekerasan yang dialami pekerja migran Indonesia.
"Ada pekerja yang ketahuan telah menggagalkan keberangkatan 3 calon korban, ia kemudian diborgol dan dipukul oleh 4 orang, disekap, dan tiap 2-3 hari sekali ditanya apakah punya uang untuk menebus dirinya sendiri atau dijual ke perusahaan lain," tutur Arina Widda Faradis dari Migrant Care sambil menunjukkan foto-foto kondisi korban kepada ABC.
Arina mengatakan, Pemerintah Indonesia memiliki pekerjaan rumah untuk menyelesaikan kasus ini dari hulu hingga hilir.
"Rekrutmen banyak dilakukan di media sosial seperti grup Facebook atau Telegram.. mungkin pemerintah bisa bekerja sama dengan platform ini untuk menerapkan semacam mekanisme pesan terblokir atau sejenisnya, apalagi jika postingan tersebut memiliki indikasi penipuan dengan modus yang kita sudah tahu."