Suara.com - Dua terdakwa kasus pembunuhan Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J telah divonis oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Senin (13/2/2023).
Mereka adalah Ferdy Sambo yang divonis hukuman mati dan Putri Candrawathi yang diganjar dengan hukuman 20 tahun penjara.
Vonis yang dijatuhkan pada keduanya lebih berat daripada tuntutan jaksa sebelumnya, dimana Sambo dituntut hukuman penjara seumur hidup dan Putri dituntut 8 tahun penjara.
Terkait dengan vonis hukuman mati yang dikenakan pada Ferdy Sambo, bagaimana sebenarnya penerapan hukuman tersebut di Indonesia? Berikut ulasannya.
Dasar hukum pidana mati di Indonesia
Dalam hukum positif Indonesia, hukuman mati merupakan pidana pokok terberat yang bisa diberikan kepada seorang terdakwa, selain hukuman pidana penjara, kurungan, denda dan pidana tutupan.
Adapun dasar hukum pidana mati tersebut salah satunya adalah Pasal 11 KUHP, dimana dalam pasal itu disebutkan pidana mati dilakukan dengan cara digantung oleh algojo yang ditunjuk.
Namun ketentuan pasal tersebut lalu diubah dengan Undang-Undang (UU) Nomor 02/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Pengadilan Umum dan Militer.
Dalam Pasal 1 Undang-undang tersebut, diatur bahwa pelaksanaan hukuman mati dalam Peradilan Umum maupun Peradilan Militer dilakukan dengan cara ditembak sampai mati.
Lalu ketentuan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 02/Pnps/1964 tersebut disempurnakan dengan Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati.
Tindak pidana yang bisa dijatuhi hukuman mati
Tidak semua tindak pidana di Indonesia bisa dijatuhi hukuman mati. Dalam KUHP hanya diatur sejumlah tindak pidana, diantaranya adalah:
- Pasal 104 berbunyi makar dengan maksud membunuh presiden dan wakil presiden
- Pasal 111 ayat (2) berbunyi melakukan hubungan dengan negara asing sehingga terjadi perang
- Pasal 124 ayat (3) berbunyi pengkhianatan memberitahukan atau menyerahkan kepada musuh di waktu perang, serta menghasut dan memudahkan terjadinya huru-hara atau pemberontakan di kalangan angkatan perang
- Pasal 340 berbunyi pembunuhan berencana
- Pasal 365 ayat (4) berbunyi pencurian dengan kekerasan secara bersekutu mengakibatkan luka berat atau mati
- Pasal 444 berbunyi pembajakan di laut yang menyebabkan kematian
- Pasal 149 K ayat (2) dan Pasal 149 O ayat (2) berbunyi kejahatan penerbangan dan saranan penerbangan.
Namun ada juga ketentuan hukuman mati yang diatur di luar KUHP, yakni pada UU narkotika, UU Terorisme dan UU Tindak Pidana Korupsi.
Teknis pelaksanaan hukuman mati di Indonesia
Menurut UU Nomor 02/Pnps/1964, ketika waktu pelaksanaan hukuman mati telah ditentukan, maka terpidana harus diberitahu oleh jaksa mengenai rencana tersebut, tiga kali 24 jam sebelum dieksekusi.