Suara.com - “Tok, tok, tok..”
Ketukan palu Ketua Majelis Hakim, Wahyu Imam Santoso setelah membacakan amar putusan terhadap terpidana Ferdy Sambo pada Senin (13/2/2023) sore. Sambo dijatuhi hukuman mati. Dia terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan pembunuhan berencana terhadap Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.
RUANGAN sidang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan seketika jadi riuh setelah Wahyu membacakan putusan. Vonis mati itu cukup mengobati kemarahan publik atas skenario kejam Sambo membunuh anak buahnya.
Selain mendapat dukungan publik, vonis mati yang dijatuhkan terhadap Ferdy Sambo dinilai bertentangan dengan konstitusi dan tidak sejalan dengan perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP baru. "Ketika membuat KUHP yang baru, itu sebenarnya semangat menghilangkan atau menghindari hukuman mati. Kenapa? Karena di konstitusi itu jelas, hak hidup adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun," kata Ketua YLBHI Muhammad Isnur kepada Suara.com pada Senin (13/2/2023).
Untuk diketahui pada Pasal 100 Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (KUHP) yang baru, hukuman mati tidak lagi menjadi hukuman pokok. Aturan barunya, seorang divonis hukuman mati untuk menjalani masa percobaan selama 10 tahun.
Pada Ayat (4) disebutkan, memberikan kesempatan bagi seorang tervonis hukuman mati untuk mengubah hukumannya menjadi hukuman pidana seumur hidup melalui putusan presiden atas pertimbangan Mahkamah Agung. "Jadi sebenarnya hak hidup itu dijamin oleh konstitusi dan dengan alasan itu pengadilan harusnya nggak bisa berikan (hukuman mati)," ujar dia.
"Jadi ini tentu bertentangan dengan konstitusi dan juga bertentangan dengan kemajuan progresivitas dalam HAM. Di mana banyak negara lain cenderung menghapus hukuman mati," katanya.
YLBHI menilai, hukuman seumur hidup penjara yang dituntutkan Jaksa Penuntut Umum lebih tepat dibanding vonis mati yang sudah dijatuhkan Majelis Hakim. "Tentu tanpa mengurangi rasa keadilan kepada korban, seumur hidup juga sangat membuat orang sangat menderita sangat panjang di penjara," jelasnya.
Namun, YLBHI tetap mengapresiasi proses hukum yang dilakukan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terhadap Ferdy Sambo. Proses peradilan berhasil mengungkap fakta-fakta bahwa kasus itu adalah pembunuhan berencana dan ada upaya rekayasa hingga penghalangan penyidikan. "Jadi ini adalah sebuah pembelajaran di mana pejabat, terutama pejabat kepolisian itu harus diperhatikan betul dalam menangani perkara karena dia potensial untuk melakukan abuse of power untuk melakukan rekayasa hukum. Satu hal yang tentu diapresiasi proses peradilannya," katanya.
Hapus Pidana Mati Bukan Berarti Dukung Tindak Kriminal