Sebaliknya, rumah ibadah itu nantinya justru akan banyak digunakan jemaat dari lokasi lain sehingga bisa berkonflik dengan warga sekitar.
“Pasti konflik itu. Mau konflik atau tidak? Kalau tak mau ada konflik, ya ikuti 90/60,” kata dia.
Namun, Alissa Wahid, Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian, justru mendesak persyaratan 90/60 pendirian rumah ibadah dihapuskan dari rancangan Perpres PKUB.
Ia menilai, semakin suburnya aksi intoleransi salah satunya dipicu oleh sulit dan berbelit-belitnya pembangunan rumah ibadah.
“Persyaratan itu membuat pemenuhan hak beribadah terbatasi. Terkadang, aturan itu menyuburkan intoleransi,” kata dia.
Menurutnya, negara harus memenuhi hak warga negara untuk dapat menjalankan ibadah sesuai keyakinannya secara tenang.
“Tentang pendirian rumah ibadah, Gusdurian tetap pada posisi meminta hal itu dicabut dan setiap umat beragama dipenuhi hak konstitusi beribadahnya sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar 1945,” tegas Alissa Wahid.
‘Buat apa perpres’
ENGKUS Ruswana, penghayat kepercayaan Budi Daya yang merupakan turunan dari Sunda Wiwitan, mengatakan tidak perlu ada peraturan presiden bila masih memuat persyaratan 90/60 untuk pendirian rumah ibadah.
Baca Juga: Dampingi Putrinya Wisuda, Wakil Presiden RI Berharap Jebolan UI Bisa Sebarkan Nama Baik Bangsa
Menurutnya, salah satu hambatan bagi para penganut aliran kepercayaan selama ini adalah sulitnya membangun rumah ibadah.
Jangankan membangun rumah ibadah di situs-situs suci, pendirian tempat sembahyang di satu komunitas pun sulit lantaran aturan 90/60 tersebut.
“Kalau aturan 90/60 itu tetap dipertahankan, buat apa ada Perpres PKUB itu. Kan tujuannya tadi katanya adalah mau lebih demokratis,” kata dia.
Engkus mengkritik pihak-pihak yang berpikir bila persyaratan 90/60 dihapuskan, maka akan banyak pendirian rumah ibadah sehingga tak terkendali.
“Logis saja, mana ada orang yang mau menghambur-hamburkan uang mendirikan suatu bangunan bila tak dimanfaatkan, kan begitu.”
Sementara Sekretaris Eksekutif Bidang Keadilan dan Perdamaian Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia Pendeta Henrek Lokra mengatakan, sangat sulit mengumpulkan persetujuan 60 warga.