Kalaupun Wantimpres hanya berganti nama jadi DPA itu jelas-jelas dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar.
Feri minta para anggota DPR RI yang terhormat diminta belajar lagi soal Hukum Tata Negara.
"Jika Anda (DPR RI) belajar konstitusi, terutama atas cara pembentukan Undang-Undang Dasar atau konstitusi, konsep kita itu adalah kalau namanya huruf kecil, dia bisa berganti nama. Misalnya, Bank Sentral, kan disebutkan Indonesia memiliki sebuah Bank Sentral," terang Feri.

"Nah, dalam Undang-Undang dinamakan Bank Sentral itu Bank Indonesia. Itu boleh, karena huruf kecil di Undang-Undang Dasar. Tapi kalau dia huruf besar, seperti Dewan Pertimbangan Agung, huruf kapital, maka nama yang digunakan harus sama persis. Begitu juga sebaliknya, kalau dia dihapuskan, artinya penamaan pun tidak boleh sama," sambung dia.
Dalam UUD 45 jelas-jelas keberadaan DPA dihapuskan. Kemudian dimunculkan Wantimpres yang berbentuk lembaga yang berada di bawah Presiden.
Tak ada lagi yang namanya lembaga seperti DPA yang tugasnya menasihati presiden. Kalau lembaga penyeimbang presiden sudah ada dalam bentuk DPR RI dan DPD RI.
"Jadi aneh kalau kemudian ada Dewan Pertimbangan Agung yang di luar kekuasaan atau naungan kekuasaan presiden. Nah, itu yang menyebabkan janggal dan aneh kalau kemudian kita ingin memaksakan lembaga ini hadir," katanya.
Feri juga menyoroti jika DPA dihadirkan lagi. Maka statusnya akan menjadi lembaga setkngkat presiden dan itu sangat berbahaya.
"Mari kita coba bayangkan ya, pertama kalau dia adalah lembaga terpisah, maka peran orang yang mengisi posisi itu akan sangat kuat, dia setara presiden. Jadi kalau kemudian ada dugaan bahwa ketua DPA nanti akan ditunjuk adalah presiden Jokowi, dia akan sangat powerful ya, kemudian memberikan saran masukan," katanya.
Baca Juga: Tuai Polemik, Yusril Tanggapi Wacana DPA Dihidupkan Lagi Lewat RUU Wantimpres, Simak!
"Bagaimana kalau dia mengatakan, dia sudah memberikan masukan kepada presiden dan presiden tidak mendengarkan, apa dampak politik, dampak sosialnya dengan sikap begitu? Akan ada perseteruan kekuasaan," sambung dia lagi.
Feri menegaskan, penilaiannya itu bisa saja dianggap sebagai imajinasi belaka dan hanya sebagai bayangan belaka. Namun disitu lah tugas Ahli Hukum Tata Negara yang berpikir harus membayangkan seperti apa negara terjadi ke depannya.
"Oleh karena itu, bagi saya, berhati-hati dengan pilihan politik ini. Saya merasa ada sesuatu yang akan benar-benar terjadi, dan ini tidak sehat bagi ketatanegaraan kita. Bagaimana mungkin konstitusi yang eksplisit seperti itu hendak ditabrak dan dilanggar? Hebatnya, pelaku yang akan menabrak dan melanggar itu adalah bagian dari presiden terpilih sendiri, teman-teman partai Gerindra di sana," tuturnya.
Dalam kesempatan berbeda, Wakil Ketua MPR RI fraksi Gerindra Ahmad Muzani menberikan jawabnnya soal kehadiran DPA lewat Revisi UU Wantimpres merupakan inkonstitusional.
Ia menyebut kalau wacana dihadirkannya kembali DPA lewat revisi pasti sudah melewati kajian mendalam DPR RI.
"Nanti akan dikaji lagi. Kita tunggu pembahasan. Karena itu masih dalam proses pembahasan," kata Muzani di Komplek Parlemen, Senayan, Selasa 16 Juli 2024.