Kumpul Kebo Marak di Indonesia, Kasus Paling di Daerah Ini

Riki Chandra Suara.Com
Senin, 11 November 2024 | 18:16 WIB
Kumpul Kebo Marak di Indonesia, Kasus Paling di Daerah Ini
Ilustrasi pacaran.(Pixabay/@5688709)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Fenomena kumpul kebo atau hidup bersama tanpa ikatan pernikahan resmi makin marak di Indonesia. Tren ini terus meningkat walau bertentangan dengan norma hukum dan agama.

Mengutip laporan The Conversation dari sejumlah pemberitaan media online, salah satu alasan utama pasangan muda memilih kohabitasi adalah perubahan pandangan terhadap konsep pernikahan dan hubungan romantis.

Banyak anak muda yang menganggap pernikahan sebagai institusi yang rumit dan tidak selalu relevan dengan hubungan cinta murni. Alhasil, mereka melihat kumpul kebo sebagai alternatif yang lebih bebas dalam mengekspresikan cinta mereka, meskipun hal ini masih menjadi kontroversi di masyarakat.

Fenomena ini berbeda dengan negara-negara seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Australia yang menganggap kohabitasi lebih normatif, sedangkan di negara Asia, termasuk Indonesia, budaya dan agama tetap menjadi faktor penghambat pengakuan legal untuk kumpul kebo.

Studi pada 2021 berjudul The Untold Story of Cohabitation menemukan bahwa kumpul kebo lebih banyak terjadi di wilayah Indonesia bagian Timur, terutama di daerah yang mayoritas penduduknya non-Muslim.

Penelitian yang dilakukan oleh Yulinda Nurul Aini, peneliti ahli muda dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengungkapkan bahwa di Manado, Sulawesi Utara, fenomena ini cukup banyak terjadi. Beberapa faktor yang mendasari adalah beban finansial, proses perceraian yang rumit, dan penerimaan sosial.

Menurut data Pendataan Keluarga 2021 (PK21) dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), sekitar 0,6 persen penduduk kota Manado terlibat dalam kohabitasi.

Dari angka tersebut, tercatat 1,9 persen dari pasangan tersebut sedang hamil, 24,3 persen berusia di bawah 30 tahun, 83,7 persen berpendidikan SMA atau lebih rendah, 11,6 persen tidak bekerja, dan 53,5 persen bekerja di sektor informal.

Data tersebut menunjukkan bahwa kumpul kebo sering kali dipilih oleh mereka yang berada dalam kondisi ekonomi menengah ke bawah.

Yulinda juga menjelaskan bahwa pihak yang paling terdampak negatif dari kumpul kebo adalah perempuan dan anak. Dalam aspek ekonomi, perempuan yang terlibat dalam kohabitasi tidak memiliki jaminan finansial yang sama seperti dalam pernikahan resmi.

Tidak ada aturan hukum yang mewajibkan laki-laki untuk memberikan nafkah kepada ibu dan anak ketika pasangan tersebut berpisah.

Selain itu, Yulinda menambahkan bahwa dari segi kesehatan mental, kumpul kebo cenderung menimbulkan masalah. Pasangan yang menjalani kohabitasi sering menghadapi ketidakpastian masa depan dan minimnya komitmen, yang mempengaruhi kesehatan mental mereka.

Berdasarkan data PK21, sekitar 69,1 persen pasangan kohabitasi mengalami konflik ringan, 0,62 persen menghadapi konflik serius seperti pisah ranjang atau pisah rumah, dan 0,26 persen lainnya mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Anak-anak yang lahir dari hubungan kohabitasi juga rentan mengalami masalah pertumbuhan, kesehatan dan emosional. Mereka sering dihadapkan pada stigma sosial sebagai "anak haram," yang dapat memengaruhi perkembangan identitas dan kesehatan mental mereka.

Kondisi ini menjadikan anak dari pasangan kumpul kebo sulit untuk beradaptasi dalam struktur keluarga dan masyarakat.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI