Sesalkan Kasus Pelecehan UGM, Menteri PPPA: Tiap Kampus Harus Punya Satgas TPKS

Minggu, 13 April 2025 | 10:37 WIB
Sesalkan Kasus Pelecehan UGM, Menteri PPPA: Tiap Kampus Harus Punya Satgas TPKS
Ilustrasi kampus UGM. [Kontributor Suarajogja.id/Putu]

Suara.com - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Arifah Fauzi menyampaikan dukungan penuh terhadap langkah cepat yang telah diambil Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) Universitas Gadjah Mada (UGM) terkait kasus kekerasan seksual yang menimpa 13 orang mahasiswi yang dilakukan oknum dosen Fakultas Farmasi.

Dia mengungkapkan kalau Kementerian PPPA juga telah melakukan koordinasi dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Provinsi DI Yogyakarta untuk memastikan proses pemeriksaan berjalan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dan korban mendapatkan keadilan.

"Kami mendukung tindakan cepat yang dilakukan Satgas PPKS UGM dalam mendampingi para korban dan upaya penyelidikan terhadap saksi-saksi dan terlapor,” ujar Arifah di Jakarta, Minggu (13/4/2025).

Peristiwa ini diketahui terjadi dalam rentang waktu tahun 2023-2024, dengan bentuk kekerasan seksual berupa sentuhan fisik yang tidak diinginkan.

Kementerian PPPA mendukung pihak UGM yang telah menjatuhkan sanksi pemberhentian pelaku dari jabatan dosen dan telah melayangkan surat kepada Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Kemendiksaintek) untuk proses penjatuhan sanksi disiplin sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN).

Menurut Arifah, kasus itu mencerminkan adanya relasi kuasa yang menyimpang dan termasuk bentuk kekerasan seksual yang serius.

"Oleh karena itu, kami akan memastikan proses pemeriksaan berjalan sesuai peraturan yang berlaku dan hak-hak korban benar-benar terpenuhi,” tegasnya.

Arifah mengingatkan adanya Peraturan Mendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi. Aturan ini menjadi dasar penting bagi kampus untuk membentuk Satgas PPKS dan menanamkan budaya kampus yang aman bagi seluruh civitas akademika.

“Perguruan tinggi memiliki peran strategis sebagai ujung tombak pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Satgas PPKS harus berpihak pada korban dan upaya pencegahan harus dilakukan secara konsisten melalui edukasi, diskusi terbuka, pelibatan dosen, tenaga kependidikan, dan mahasiswa dalam membangun kampus yang inklusif dan aman,” tuturnya.

Baca Juga: Menteri PPPA Soroti Insiden Pelecehan di KRL: Alarm Perempuan Belum Aman

Arifah menekankan bahwa setiap kampus penting untuk memiliki Satgas TPKS. Karena penanganan kasus kekerasan seksual membutuhkan kolaborasi erat semua pihak.

"UPTD PPA dan Satgas PPKS UGM memegang peranan penting dalam memastikan kebutuhan dan hak korban terpenuhi. Dukungan dari keluarga dan lingkungan juga sangat berharga bagi pemulihan mental dan emosional korban,” pungkasnya.

Komnas HAM Desak Hukuman Diperberat

Komisioner Komnas HAM Anis Hidayah saat memberi keterangan kepada pers di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Rabu 18/12/2024). (Suara.com/Kayla Nathaniel Bilbina)
Komisioner Komnas HAM Anis Hidayah saat memberi keterangan kepada pers di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Rabu 18/12/2024). (Suara.com/Kayla Nathaniel Bilbina)

Sementara itu, Komnas HAM berpandangan hukuman terhadap pelaku kekerasan seksual, seperti yang terjadi beberapa waktu terakhir, yakni dengan pelaku dosen UGM dan dokter peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Universitas Padjadjaran harus diperberat.

Menurut Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Komnas HAM Anis Hidayah di Jakarta, Kamis lalu, hukuman pelaku dari kalangan akademisi dan dokter seperti itu harus diperberat karena mereka seharusnya menjadi pihak yang melindungi masyarakat, bukan justru melakukan tindak pidana kekerasan seksual.

"Posisi mereka itu, kalau di dalam Undang-Undang TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual) disebut sebagai pihak yang seharusnya memberikan perlindungan dan pelayanan, yaitu dokter, guru besar, kemudian ini kepolisian. Jadi mereka mesti diberikan pemberatan hukuman karena status pelaku yang seharusnya memberikan pelayanan dan perlindungan bagi masyarakat," kata dia.

Hal tersebut dia sampaikan usai menerima audiensi dari Forum Perempuan Diaspora Nusa Tenggara Timur, dengan agenda pembahasan seputar kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh eks Kapolres Ngada AKBP Fajar.

Berikutnya, Anis mengajak seluruh pihak untuk mengawal kasus-kasus kekerasan seksual yang melibatkan dosen hingga dokter itu agar pihak penegak hukum benar-benar memperberat hukuman bagi kedua pelaku.

"Kita berkepentingan untuk mengawal agar nantinya aparat penegak hukum menjatuhkan sanksi yang seberat-beratnya," kata dia.

Sebelumnya, diketahui bahwa Polda Jawa Barat (Jabar) telah menahan seorang peserta PPDS Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (Unpad) berinisial PAP (31) atas dugaan kekerasan seksual terhadap anggota keluarga pasien di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung.

Sementara itu, pimpinan Universitas Gadjah Mada menjatuhkan sanksi pemecatan terhadap seorang guru besar di Fakultas Farmasi berinisial EM setelah terbukti melakukan kekerasan seksual terhadap sejumlah mahasiswa.

Dugaan kekerasan seksual oleh EM terjadi sepanjang tahun 2023 hingga 2024. Kasus tersebut terungkap setelah muncul laporan ke Fakultas Farmasi pada Juli 2024.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI