“Kami kehilangan lebih banyak orang akibat konsekuensi tidak langsung dari perang dibandingkan mereka yang terbunuh akibat pendudukan,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa kelompok paling rentan dalam konflik ini adalah anak-anak dan ibu hamil. Menurut data Kementerian Kesehatan Gaza, lebih dari 40.000 anak telah menjadi yatim piatu.
Sebanyak 100 anak dilaporkan meninggal dunia karena menunggu terlalu lama di perbatasan saat ingin keluar untuk mendapat perawatan medis, sementara hampir satu juta anak kehilangan akses terhadap bantuan kemanusiaan yang vital.
Sejak 18 Maret lalu, Israel kembali meningkatkan serangan terhadap Gaza dengan dalih Hamas menolak rencana gencatan senjata yang diusulkan Amerika Serikat. Gencatan senjata sebelumnya berakhir pada 1 Maret tanpa perpanjangan.
Dalam eskalasi terbarunya, Israel memutus pasokan listrik ke pabrik desalinasi air di Gaza, mempersulit akses warga terhadap air bersih.
Selain itu, semua jalur masuk bagi truk bantuan kemanusiaan ditutup, memperparah kelangkaan makanan, obat-obatan, dan barang-barang pokok.
Kondisi ini semakin diperparah oleh laporan dari Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA), yang pada awal April menyebutkan bahwa penjarahan terhadap truk bantuan meningkat tajam.
Warga yang kelaparan dan putus asa terpaksa menyerbu konvoi bantuan karena distribusi tidak merata dan suplai yang jauh dari mencukupi kebutuhan populasi yang terperangkap.
“Situasi ini bukan hanya bencana kemanusiaan, tetapi juga kejahatan terhadap kemanusiaan,” tegas al-Barsh.
Baca Juga: Jeritan Gaza Utara: Wanita dan Anak-Anak Turun ke Jalan, Minta Blokade Diakhiri!