“Dari Aisyah RA, ia berkata: kami keluar bersama Rasulullah saw pada tahun haji Wada’. Dari kami ada yang memulainya dengan umrah terlebih dahulu (sebelum haji), ada yang melaksanakan haji dan umrah (bersamaan), dan adapula yang memulainya dengan melaksanakan haji terlebih dahulu. Rasulullah saw memulainya dengan melaksanakan haji. Maka barangsiapa memulai dengan haji, atau mengumpulkan haji dan umrah, ia tidak boleh tahallul hingga hari raya Idul Adha”. (HR. Bukhari).
Berikut 3 Jenis Pelaksanaan Haji
Imam Al-Ghazali dalam kitabnya, Ihya Ulumiddin, menjelaskan secara lengkap definisi dari tiga pelaksanaan haji dalam Islam.
Secara bahasa, kata “ifrad” berarti menyendiri atau terpisah, dan istilah ini menggambarkan secara tepat tata cara pelaksanaan ibadah haji dengan metode ini.
Haji Ifrad dilakukan dengan mendahulukan seluruh rangkaian ibadah haji terlebih dahulu hingga tuntas, baru kemudian melaksanakan ibadah umrah secara terpisah.
Setelah menyelesaikan seluruh rukun dan wajib haji, jamaah wajib keluar ke tanah halal—wilayah di luar batas Tanah Haram—untuk memulai ihram kembali dengan niat umrah.

Di antara lokasi tanah halal yang paling utama untuk memulai umrah setelah haji adalah Ji’ranah, Tan’im, dan Hudaibiyah.
Keistimewaan haji ifrad terletak pada kesederhanaannya: karena pemisahan antara haji dan umrah, jamaah tidak dikenakan kewajiban membayar dam, menjadikannya pilihan yang tenang dan ringan bagi sebagian jamaah.
Baca Juga: Jangan Panik! Ini Tips yang Harus Dilakukan Jemaah Haji Jika Barang Hilang
Secara bahasa, “qiran” berarti menyertakan, dan istilah ini mencerminkan esensi dari pelaksanaan haji qiran, yaitu menyertakan ibadah umrah ke dalam rangkaian ibadah haji dengan satu niat dan satu kali ihram.
Dalam praktiknya, jamaah yang menjalankan haji qiran cukup melaksanakan rangkaian ibadah haji saja, karena seluruh amalan umrah sudah termasuk di dalamnya—mirip dengan konsep mandi besar yang mencakup wudhu.
Meski tampak praktis, pelaksanaan haji qiran tetap memiliki ketentuan teknis yang perlu diperhatikan.
Misalnya, jika thawaf dan sa’i dilakukan sebelum wukuf, maka sa’i-nya dapat dihitung untuk dua ibadah sekaligus, yakni haji dan umrah, namun thawafnya tidak sah sebagai thawaf fardhu haji karena syarat utamanya harus dilakukan setelah wukuf.
Karena menyatukan dua ibadah dalam satu waktu, haji qiran juga mewajibkan pelakunya untuk membayar dam sebagai bentuk konsekuensi ibadah yang digabungkan tersebut.
Adapun bagi yang melaksanakan haji dengan qiran maka wajib baginya dam berupa satu ekor kambing kecuali bagi penduduk asli Mekkah sebab ia tidak meninggalkaan miqatnya. (Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, [Jeddah, Darul Minhaj, 2011 M], juz II, hlm. 157)