
Secara bahasa, “tamattu” berarti bersenang-senang atau menikmati, dan makna ini tergambar jelas dalam pelaksanaan haji dengan metode tamattu.
Dalam model ini, jamaah lebih dahulu melaksanakan rangkaian ibadah umrah secara sempurna, mulai dari ihram, thawaf, sa’i, hingga tahallul.
Setelah itu, mereka kembali menjalani kehidupan normal di Mekkah tanpa terikat larangan-larangan ihram—seperti memakai wewangian, mencukur rambut, atau memakai pakaian berjahit—hingga waktu pelaksanaan ibadah haji tiba.
Inilah yang dimaksud dengan “bersenang-senang,” karena selama masa jeda tersebut, jamaah bebas melakukan hal-hal yang sebelumnya dilarang saat ihram.
Ketika hari-hari haji memasuki waktunya, jamaah kembali berihram dari tempat tinggalnya di Mekkah untuk melaksanakan seluruh rangkaian ibadah haji.
Haji tamattu menjadi pilihan yang paling banyak diambil oleh jamaah Indonesia karena dianggap lebih ringan dan memberikan jeda istirahat di antara dua ibadah besar.
Namun, sebagai bentuk kompensasi atas pemisahan dua ibadah ini, jamaah tetap diwajibkan membayar dam.
Dalam pelaksanaannya, orang yang berhaji tamattu harus memenuhi lima syarat, sebagaimana dijelaskan Al-Ghazali dalam “Ihya Ulumuddin” Juz II, yang artinya sebagai berikut:
Baca Juga: Jangan Panik! Ini Tips yang Harus Dilakukan Jemaah Haji Jika Barang Hilang
Seorang yang berhaji tamattu’ bukan termasuk dari bagian penduduk Masjidil Haram.
Dengan ketentuan mereka yang jaraknya kurang dari jarak yang diperbolehkan untuk meng-qashar shalat ialah termasuk bagian penduduk.
Seseorang melaksanakan haji dengan model tamattu', dan wajib baginya untuk membayar dam berupa satu ekor kambing.
Apabila ia tidak menemukannya, maka boleh diganti dengan puasa 3 hari pada masa haji sebelum hari raya Idul Adha, dan 7 hari setelah kembali ke tanah air atau jika tidak dapat melaksanakan puasa pada saat haji, maka puasa dilaksanakan di tanah air. (Al-Ghazali, 158)
Itulah ketiga jenis pelaksanaan haji tersebut didasarkan pada hadits.