Menghadapi lonjakan ini, para ahli menekankan perlunya tindakan ganda: tanggap darurat dan rencana jangka panjang.
Bagi Global Centre for Climate Mobility (GCCM), memangkas emisi gas rumah kaca adalah langkah mendesak yang tak bisa ditawar. Namun, itu saja tidak cukup. Dunia butuh strategi yang lebih komprehensif untuk merespons krisis pengungsian akibat iklim.
Langkah pertama adalah menghentikan degradasi lingkungan. Infrastruktur harus diperkuat. Zonasi wilayah perlu ditegakkan, dan kode bangunan mesti dipatuhi dengan ketat agar risiko bencana bisa ditekan.
Kedua, memperkuat kesiapsiagaan. Ini bukan hanya soal sistem peringatan dini, tapi juga mencakup asuransi risiko dan perlindungan sosial. Semua elemen ini penting untuk melindungi warga ketika bencana datang tiba-tiba.
Langkah ketiga adalah soal mobilitas bermartabat. Bagi mereka yang tinggal di zona rawan bencana, tapi tak punya pilihan untuk pindah, negara harus hadir. Insentif dan dukungan konkret dibutuhkan agar mereka bisa pindah secara aman dan terencana.
Terakhir, dunia perlu membangun solusi jangka panjang. Orang-orang yang telah mengungsi harus mendapat akses pada tempat tinggal yang layak, layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan, serta peluang mata pencaharian yang stabil.
Dalam semua ini, kota akan menjadi garda depan. Rosengaertner menekankan, “Kota harus siap memberikan keamanan dan peluang bagi warga yang mengungsi.” Sebab, kota bukan hanya tujuan akhir para pengungsi, tapi juga ruang harapan untuk memulai kembali.
Pendanaan Minim, Risiko Membesar
Pengungsian internal merupakan bentuk nyata dari loss and damage kerugian akibat iklim, yang telah disepakati negara-negara dalam pertemuan iklim PBB 2022. Sayangnya, pendanaannya masih jauh dari cukup.
Baca Juga: Antara PLTU dan Janji Hijau: Dilema Transisi Energi di Tengah Krisis Iklim
Anzellini memperingatkan, “Dana bantuan yang ada belum mencerminkan biaya nyata dari pengungsian.” Bahkan, pemotongan anggaran bantuan kemanusiaan oleh negara kaya memperparah kondisi ini.
Pemotongan dana bukan hanya berdampak pada para pengungsi. Tapi juga melemahkan sistem pemantauan dan data, yang krusial untuk perencanaan tanggapan.
“Pemotongan ini membuat komunitas semakin rentan,” kata Rosengaertner.
Namun, ia menambahkan ada peluang untuk mengubah pendekatan. Jika pemotongan bantuan diganti dengan peningkatan perdagangan, akses kerja, atau transfer teknologi, dampaknya bisa lebih positif.