Suara.com - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyebut situasi konsumsi rokok di Indonesia saat ini telah berada dalam kondisi darurat. Tak hanya menyebabkan kerugian ekonomi dan kesehatan yang besar, konsumsi rokok juga dinilai menjadi penghambat dalam pengentasan kemiskinan dan stunting di kalangan masyarakat miskin.
"Menurut saya kondisi Indonesia saat ini itu sangat tragis, sangat paradoks. Karena masalah tembakau ini kita sebenarnya levelnya sudah darurat, darurat dalam konsumsi," beber Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi dalam konferensi pers secara virtual di Kantor Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Jakarta, Senin (2/6/2025).
Tulus mengungkapkan bahwa lebih dari 32 persen masyarakat Indonesia saat ini termasuk perokok aktif. Yang lebih memprihatinkan, hampir 10 juta di antaranya adalah anak-anak. Angka prevalensinya mencapai sekitar 7,4 persen.
Menurutnya, dengan jumlah yang fantastis itu sebenarnya menimbulkan kerugian yang sangat masif, baik dari sisi ekonomi, kesehatan. Namun, hal itu tidak disadari publik juga negara yang dinilai kurang mengintervensi persoalannya.
![Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi, di Jakarta, Jumat (28/7/2017). [Suara.com/Ummi Hadyah Saleh]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2017/07/28/47307-ketua-pengurus-harian-ylki-tulus-abadi-di-jakarta.jpg)
"Kalau saat ini pemerintah misalnya teriak-teriak adanya pengentasan kemiskinan dan segala macam, tapi ternyata tidak menukik, bagaimana mengintervensi agar kemiskinan itu bisa dihilangkan dengan mengurangi konsumsi rokok. Karena justru rumah tangga miskin kita rata-rata menghabiskan 10-11 persen untuk konsumsi rokok," kritik Tulus.
Gambaran kondisi seperti itu yang seharusnya menjadi perhatian serius pemerintah, terutama ketika berbicara soal pengentasan kemiskinan. Selain penyelesaian ekonomi, Tulus menyebutkan kalau penanganan serius terhadap rokok juga bisa berpengaruh untuk mengurangi stunting.
Dia menekankan kalau masalah stunting juga dikaitkan dengan tingginya konsumsi rokok di keluarga miskin. Sehingga, program pemerintah seperti Makanan Bergizi Gratis (MBG) tidak akan efektif jika tidak diiringi dengan upaya pengendalian konsumsi rokok.
"Kalau sekarang ada MBG, itu saya yakin tidak akan menyelesaikan persoalan kalau kemudian pemerintah tidak mengintervensi bagaimana rumah tangga miskin itu bisa mengurangi konsumsi rokok," ucapnya.

YLKI juga menyoroti bagaimana persepsi masyarakat terhadap industri rokok sering kali keliru. Industri ini dianggap sebagai penyumbang besar bagi ekonomi dan tenaga kerja, padahal menurut Tulus, kontribusi itu tidak sebanding dengan kerugian yang ditimbulkan.
Baca Juga: Dipuji-puji karena Dietnya Berhasil, Prabowo Pangling Lihat Megawati: Ibu Luar Biasa!
"Industri rokok itu diposisikan sebagai industri yang normal dan bahkan sering dipuja-puja, karena berkontribusi dari sisi ekonomi, berkontribusi dari sisi tenaga kerja dan lain sebagainya. Seolah-olah industri rokok itu industri yang perannya paling tinggi," tuturnya.
YLKI mendesak pemerintah untuk mengambil langkah konkret dalam menekan konsumsi rokok, mulai dari regulasi ketat, pelarangan iklan, hingga edukasi publik yang masif, terutama bagi rumah tangga berpenghasilan rendah.
MBG Diklaim Perbaiki Gizi Anak
Diberitakan sebelumnya, Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, meyakini kalau program makan bergizi gratis (MBG) juga dapat memperbaiki kualitas fisik anak-anak Indonesia menjadi tumbuh lebuh tinggi. Dia mengklaim kalau anak-anak penerima manfaat MBG berpotensi tumbuh tinggi minimal hingga 180cm saat dewasa.
Dia menyebutkan bahwa anak usia 12 hingga 16 tahun merupakan second peak atau puncak kedua pertumbuhan fisik anak yang sangat menentukan tinggi badan dan kesehatan masa dewasa. Pada rentang usia itu pula MBG dibagikan kepada anak-anak di sekolah dan pesantren.
"Inilah saatnya kita harus intervensi dengan gizi seimbang. Kalau kita tidak intervensi sekarang, maka tubuhnya saya perkirakan rata-rata hanya 160-165 (cm). Tapi ketika ada makan bergizi, nanti tubuhnya minimal 180 cm," kata Dadan saat peluncuran 1.000 dapur MBG di pesantren secara virtual, Senin (26/5/2025).
Ia menjelaskan bahwa ada dua masa puncak pertumbuhan anak yang sangat penting. Pertama ketika seribu hari pertama kehidupan, sejak dalam kandungan hingga anak berusia dua tahun. Masa ini sangat krusial untuk perkembangan otak dan kecerdasan.
Sementara itu, puncak kedua pertumbuhan terjadi saat anak memasuki usia remaja, di mana pertumbuhan fisik seperti tinggi badan dan massa otot mencapai percepatan maksimal.
Di hadapan para santri, Dadan menyampaikan kalau mereka saat ini tengah berada dalam fase second peak tersebut. Itu sebabnya para santri turut menjadi sasaran MBG agar asupan gizinya bisa lebih baik.
Dalam kesempatan tersebut, Dadan juga memperkenalkan MBG sebagai pola makan harian yang terdiri dari karbohidrat, protein hewani dan nabati, sayur, buah, serta susu. Ia menekankan bahwa mayoritas anak Indonesia belum mendapatkan akses terhadap makanan bergizi seimbang seperti itu.
![Kepala Badan Gizi Nasional, Dadan Hindayana saat ditemui di Sleman. [Hiskia/Suarajogja]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/05/20/81289-dadan-hindayana.jpg)
Kami tahu bahwa 60 persen anak Indonesia itu tidak pernah punya akses terhadap makan dengan gizi seimbang. Jadi kalau makan itu, ada nasi, ada bakwan atau bala-bala, ada mie, ada bihun, ada kerupuk. Sebagian besar makannya seperti itu," kata Dadan.
Diklaim Jauh Lebih Sehat
Dia membandingkan dengan menu MBG yang diklaimnya jauh lebih sehat.
"Sementara yang disajikan di dalam makan bergizi, pasti selalu ada nasi, ada telur, ada ayam, ada ikan, atau protein lainnya. Kemudian ada sayur, ada buah, ada susu. Jadi itulah yang disebut dengan gizi seimbang. Itu yang akan kita sajikan," tuturnya.
Ditambah pula adanya susu pada menu MBG. Dadan menyebutkan kalau 60 persen anak Indonesia tidak pernah minum susu karena tidak mampu membelinya. Padahal, menurut Dadan, susu bisa jadi salah satu faktor pendorong tubuh anak tumbuh tinggi.
Dia menceritakan pengalamannya sendiri terhadap dua anaknya yang memiliki tinggi lebih dari 180 cm.
"Ini sudah terbukti di rumah. Anak saya ada dua orang laki-laki, itu anak yang pertama tingginya 181, anak yang kedua tingginya 185. Kenapa? Karena minum susu diwajibkan sama ibunya dari kecil sampai SMA kelas 2, wajib. Bahkan pada saat pertumbuhan, anak saya yang kecil itu minum susunya 2 liter sehari. Jadi tulangnya besar-besar. Makanya tubuhnya tinggi. Jadi tinggi badan tidak hanya masalah genetik, tapi juga makanan," tuturnya.
Dadan menekankan bahwa anak-anak usia remaja saat ini adalah calon tenaga kerja produktif di tahun 2045, saat Indonesia memasuki era bonus demografi. Karena itu, dia menekankan pentingnya asupan gizi seimbang agar mereka tumbuh menjadi SDM unggul.
"Kalau kita tidak siapkan sekarang dengan memenuhi gizinya dengan baik, maka kita khawatirkan akan menghasilkan SDM yang bonus demografi tapi kualitasnya kurang baik. Jadi langkah ini adalah langkah strategik," pungkasnya.