Perspektif baru yang perlu ditawarkan di sini adalah bahwa tanah bukan hanya medium fisik untuk tumbuhan, tetapi ruang hidup yang menyimpan memori ekologis.
Rehabilitasi lahan tidak cukup hanya memperbaiki fungsi permukaan, tetapi harus juga membangun kembali jejaring kehidupan yang pernah ada.
Artinya, pemulihan tanah harus selaras dengan pemulihan perairan, udara, vegetasi, dan juga struktur sosial-budaya masyarakat sekitar.
Sebagai negara megabiodiversitas, Indonesia memiliki tanggung jawab moral yang besar terhadap dunia.
Ketika suatu kawasan yang menjadi ikon pariwisata rusak oleh pertambangan, dunia tidak hanya menyalahkan satu perusahaan atau pemerintah, tetapi menilai komitmen Indonesia secara keseluruhan terhadap keberlanjutan.
Indonesia tidak bisa lagi menunda membangun sistem pemulihan lahan yang bukan hanya reaktif, tetapi proaktif dan antisipatif.
Jika bangsa ini mulai menempatkan pemulihan tanah sebagai proyek peradaban, maka kerusakan ini bisa menjadi titik balik menuju masa depan yang lebih bijak.
Seperti kata pepatah Melanesia, "Tanah bukan hanya tempat berpijak, tetapi juga tempat berpulang." Maka memperbaiki tanah adalah memperbaiki arah pulang seseorang sebagai manusia. (Antara)
Catatan Redaksi: Artikel ini Ditulis Destika Cahyana, Peneliti di Pusat Riset Tanaman Pangan, BRIN.
Baca Juga: Pulau Gag Bergejolak: Pemerintah Hentikan Sementara Tambang Nikel di Raja Ampat