suara hijau

Keadilan untuk Hutan: KLH Menang Gugatan Tambang Ilegal Rp48 Miliar

M. Reza Sulaiman Suara.Com
Rabu, 18 Juni 2025 | 10:49 WIB
Keadilan untuk Hutan: KLH Menang Gugatan Tambang Ilegal Rp48 Miliar
Lokasi pertambangan ore nikel di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. [ANTARA/Jojon]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Penegakan hukum lingkungan di Indonesia kembali menunjukkan taringnya. Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) berhasil memenangkan gugatan perdata senilai hampir Rp48 miliar terhadap dua perusahaan tambang nikel yang terbukti merusak kawasan hutan lindung di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara.

Kemenangan ini bukan sekadar capaian hukum, melainkan pesan kuat bahwa pelaku perusakan lingkungan tidak bisa lagi berlindung di balik dalih investasi dan pembangunan.

Putusan tersebut dijatuhkan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada 5 Juni 2025. Dalam amar putusannya, majelis hakim yang diketuai Ida Bagus Dwi Yantara, bersama Nelson Pasaribu dan Multining Dyah Ely Mariani, mengabulkan sebagian gugatan banding KLH/BPLH terhadap PT James & Armando Pundimas (PT JAP) dan PT Bhima Amarta Mining (PT BAM), serta menghukum keduanya membayar ganti rugi ekologis dan ekonomis sebesar Rp47.972.808.539.

"Gugatan ini mencerminkan komitmen pemerintah dalam menurunkan tingkat pelanggaran terhadap lingkungan hidup. Ini adalah wujud nyata perjuangan negara untuk menegakkan hak masyarakat atas lingkungan hidup yang layak, bersih, dan sehat," ujar Dodi Kurniawan, Direktur Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup sekaligus Kuasa Hukum Menteri LH/Kepala BPLH, melansir ANTARA, Rabu (18/6/2025).

Mengapa Hukuman Berat Diperlukan?

Perusakan hutan lindung bukan hanya soal hilangnya pepohonan di atas kertas. Dampak ekologisnya menjalar jauh: rusaknya habitat satwa liar, terganggunya siklus air, meningkatnya risiko banjir dan longsor, hingga hilangnya sumber penghidupan masyarakat adat dan lokal yang bergantung pada kelestarian hutan.

Dalam kasus PT JAP dan PT BAM, aktivitas ilegal mereka terbukti mencemari dan merusak lingkungan di area seluas 2,8 hektare.

Jika tidak dihukum tegas, praktik seperti ini berpotensi menciptakan preseden berbahaya: bahwa pelanggaran bisa dinegosiasikan, bahwa keuntungan lebih penting daripada keberlanjutan. Itulah sebabnya penghukuman berat menjadi elemen penting dalam strategi penegakan hukum yang efektif.

Hukuman ini harus menimbulkan efek jera serta mendorong pelaku usaha untuk menempatkan perlindungan lingkungan sebagai pilar utama dalam operasional mereka.

Baca Juga: Dorong Solusi Krisis Mikroplastik: Greenpeace Ajak KLH Perkuat Regulasi Berbasis Sains dan Keadilan

Kronologi Kasus

Gugatan ini bermula sejak 2021, ketika KLH menemukan alat berat beroperasi di kawasan Hutan Produksi Desa Lamondowo, Kecamatan Andowia, Konawe Utara. Penambangan dilakukan tanpa izin dan melanggar batas wilayah kehutanan yang dilindungi hukum.

Direktur PT JAP sebelumnya telah dijatuhi vonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Kendari atas pelanggaran pidana pendudukan kawasan hutan secara ilegal pada 2022.

Berdasarkan fakta tersebut, KLH/BPLH mengajukan gugatan perdata pada 29 Desember 2023 ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Namun sayangnya, gugatan itu ditolak melalui putusan Nomor 8/PDT.G/LH/2024/PN Jkt.Pst pada 21 Februari 2025. KLH tidak menyerah. Langkah banding ke Pengadilan Tinggi pun ditempuh—dan membuahkan hasil.

Momentum Perubahan: Dari Penindakan ke Pencegahan

Menurut Dodi Kurniawan, kemenangan ini menjadi tonggak penting yang menandai keseriusan pemerintah dalam menangani kerusakan lingkungan akibat industri ekstraktif. Lebih dari sekadar denda, ini adalah pernyataan bahwa negara hadir untuk memperjuangkan keadilan ekologis.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI