“Status DKI Jakarta sebagai kota dengan udara terpolutif di dunia acap kali masih melekat sebagai identitas bagaimana kualitas udara di DKI Jakarta,” beber dia.
Hal lain yang ia sorot yaitu soal wacana pembangunan pagar laut atau giant sea wall di pesisir teluk Jakarta sepanjang 19 km.
Rencana ini, kata Fadhil, tentunya tidak boleh diambil terburu-buru karena membutuhkan kajian komprehensif mengenai dampak pembangunan terhadap lingkungan dan sosial masyarakat pesisir dan pulau kecil di utara Jakarta.
“Mitigasi bencana dan solusi berbasis lingkungan (nature-based solution) luput diperhatikan oleh Pemprov DKI Jakarta, yang menutup mata atas adanya kegiatan perusakan ekosistem laut (abnormally dangerous activity) di Pulau Pari sebagai pulau kecil,” katanya.
“Padahal, ekosistem laut khususnya mangrove memiliki peran penting dalam perlindungan pesisir dan mitigasi krisis iklim (carbon sequestration),” lanjutnya lagi.
Ia menambahkan, kerusakan ekosistem laut di Pulau Pari juga menjadi bukti tidak ada keseriusan melakukan pembangunan yang mementingkan keberlanjutan lingkungan hidup.
Sejak Juli 2024, Warga Pulau Pari dihadapkan pada konflik atas pembangunan cottage apung dan dermaga wisata di wilayah Gugusan Lempeng, Pulau Pari.
Ia menilai, selama ini wilayah tersebut telah dijaga dan dirawat oleh warga secara swadaya dan kolektif sebagai upaya melestarikan ekosistem lautnya dari ancaman krisis iklim yang dapat menimbulkan abrasi dan hilangnya ruang hidup warga Pulau Pari.
“Namun hingga saat ini, Pemprov DKI Jakarta melakukan pembiaran sehingga menyebabkan konflik antar warga dan korporasi semakin meruncing. Persoalan ini yang bagi kami Pram-Doel tidak peduli dengan persoalan lingkungan dan krisis iklim, termasuk ruang hidup,” umbar dia.
Baca Juga: Tepat HUT ke-498 Jakarta, Bank DKI Resmi Berubah Jadi Bank Jakarta
Catatan lainnya dari LBH Jakarta yakni kepada pemimpin kota Jakarta itu sendiri. Kali ini soal kesejahteraan pekerja di tengah arus informalisasi Jakarta.
Fadhil menerangkan, saat ini Jakarta secara berangsur-angsur menjadi kota informal. Per tahun 2023, sebanyak 1.838.096 dari jumlah pekerja di Jakarta merupakan pekerja informal.
Hal ini dinilainya menjadi tantangan bagi Pemprov DKI Jakarta untuk memberikan perhatian serius bagaimana menjamin hak-hak pekerja di sektor informal dapat terlindungi.
“Pekerja informal di Jakarta harus mendapatkan jaminan dalam menambah penghidupannya dengan terhindar dari ancaman penggusuran dan pengusiran dalam penataan ruang kegiatan ekonomi, hingga akomodasi agar pekerja informal tidak merasa terancam oleh penertiban,” ungkapnya.
Jakarta juga disebutnya masih kurang dalam memberikan persoalan bantuan hukum dan perlindungan hukum warga secara non-diskriminatif.
Sebagai daerah di Indonesia yang menjadi pionir dalam memberikan akses bantuan hukum bagi kelompok miskin dan rentan, lanjut Fadhil, sangat ironis ketika Jakarta belum juga memiliki Peraturan Daerah mengenai penyelenggaraan bantuan hukum bagi warganya.