Suara.com - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta memberikan sejumlah catatan di perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-498 Jakarta yang harus diselesaikan Gubernur Pramono Anung dan Wakil Gubernur Rano Karno.
Direktur LBH Jakarta, M Fadhil Alfathan Nazwar mengatakan kalau pemerintahan Pramono Anung dan Rano Karno saat ini harus menjadikan HUT Jakarta dengan refleksi sebagai kota yang berkeadilan.
Sebab di tengah meriahnya perayaan ulang tahun Jakarta yang digelar oleh Pemprov DKI, Fadhil melihat Jakarta masih memiliki sederet persoalan krusial yang perlu dituntaskan secara responsif oleh Pemerintah.
“Permasalahan ini bersinggungan langsung dengan penikmatan standar kehidupan layak yang berhak didapatkan setiap warga negara dan wajib dipenuhi oleh pemerintahnya,” kata Fadhil dalam keterangannya yang diterima Suara.com, Minggu (22/6/2025).
Persoalan pertama yang harus dituntaskan oleh pemerintah Jakarta untuk warganya yakni soal tempat tinggal atau hunian. Menurut dia, dalam pemenuhan backlog perumahan masih melalui cara konvensional dengan skema pengembangan properti yang menyebabkan konvensi hunian menjadi komoditas investasi.
“Contohnya hunian Transit Oriented Development di beberapa stasiun KRL yang tidak aksesibel bagi warga. Di saat yang sama, terdapat banyak bangunan mati yang tidak di re-utilisasi sebagai hunian kolektif,” papar dia.
Fadhil menilai, ada kelemahan regulasi UU Rumah Susun dan kebijakan reforma agraria. Bukannya melindungi serta mengatur hak penghuni dalam mendapatkan hunian layak, justru ini malah menjadi sebuah medan pertempuran.
Dirinya memaparkan, persoalan dalam pemberian pengelolaan yang tidak diberikan kepada penghuni hingga penahanan hak kepemilikan kolektif menjadi permasalahan yang terus berulang-ulang yang dihadapi oleh warga kampung kota, bahkan ketika sudah dibangun menjadi Satuan Rumah Susun (Sarusun).
Dicontohkan dia, hal ini terjadi pada warga Kampung Susun Bayam di Jakarta Utara. Pemprov DKI Jakarta sempat melaksanakan seremonial penyerahan kunci Kampung Susun Bayam (KSB) kepada warga yang dahulu tergusur secara paksa karena proyek Jakarta International Stadium (JIS).
Baca Juga: Tepat HUT ke-498 Jakarta, Bank DKI Resmi Berubah Jadi Bank Jakarta
Namun, Pemprov DKI Jakarta malah menganggap kegiatan tersebut tidak dilakukan secara partisipatif. Sebab itu tidak melibatkan warga lainnya yang ditempatkan sementara di Rusunawa Nagrak dan Rorotan.
“Sehingga, warga harus kembali melakukan unjuk rasa di KSB untuk hanya sekedar bertemu dengan Gubernur menagih janjinya sebagai pejabat publik,” ucapnya.
Catatan lainnya yakni soal masih adanya ancaman penggusuran ruang hidup tanpa melalui proses peradilan. Hal ini juga masih menghantui warga Jakarta dengan masih diberlakukannya Pergub DKI Jakarta Nomor 207 Tahun 2016.
Ia mengatakan, proses pencabutan aturan ini belum ditindaklanjuti kembali oleh rezim Pram-Doel di periode kepemimpinannya, perkembangan terakhir proses masih terkendala ‘ping-pong’ antara Pemprov DKI Jakarta dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Catatan berikutnya yakni terkait dengan hak atas lingkungan hidup dan krisis iklim. Pasca adanya Putusan MA Nomor 2560 K/Pdt/2023 yang memenangkan warga dalam Gugatan Warga Negara (Citizen Lawsuit) terhadap polusi udara Jakarta, hingga hari ini belum ada upaya Pram-Doel dalam melaksanakan putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
Fadhil menerangkan, Status Baku Mutu Udara Ambien (BMUA) masih jauh di bawah ambang batas sehat bagi warga, upaya teknis yang telah dilakukan tidak dapat diukur secara ilmiah, hasil pengawasan polusi udara yang tidak terbuka kepada warga DKI Jakarta, dan penertiban kebijakan yang tidak didasarkan pada kebutuhan warga DKI Jakarta.
“Status DKI Jakarta sebagai kota dengan udara terpolutif di dunia acap kali masih melekat sebagai identitas bagaimana kualitas udara di DKI Jakarta,” beber dia.
Hal lain yang ia sorot yaitu soal wacana pembangunan pagar laut atau giant sea wall di pesisir teluk Jakarta sepanjang 19 km.
Rencana ini, kata Fadhil, tentunya tidak boleh diambil terburu-buru karena membutuhkan kajian komprehensif mengenai dampak pembangunan terhadap lingkungan dan sosial masyarakat pesisir dan pulau kecil di utara Jakarta.
“Mitigasi bencana dan solusi berbasis lingkungan (nature-based solution) luput diperhatikan oleh Pemprov DKI Jakarta, yang menutup mata atas adanya kegiatan perusakan ekosistem laut (abnormally dangerous activity) di Pulau Pari sebagai pulau kecil,” katanya.
“Padahal, ekosistem laut khususnya mangrove memiliki peran penting dalam perlindungan pesisir dan mitigasi krisis iklim (carbon sequestration),” lanjutnya lagi.
Ia menambahkan, kerusakan ekosistem laut di Pulau Pari juga menjadi bukti tidak ada keseriusan melakukan pembangunan yang mementingkan keberlanjutan lingkungan hidup.
Sejak Juli 2024, Warga Pulau Pari dihadapkan pada konflik atas pembangunan cottage apung dan dermaga wisata di wilayah Gugusan Lempeng, Pulau Pari.
Ia menilai, selama ini wilayah tersebut telah dijaga dan dirawat oleh warga secara swadaya dan kolektif sebagai upaya melestarikan ekosistem lautnya dari ancaman krisis iklim yang dapat menimbulkan abrasi dan hilangnya ruang hidup warga Pulau Pari.
“Namun hingga saat ini, Pemprov DKI Jakarta melakukan pembiaran sehingga menyebabkan konflik antar warga dan korporasi semakin meruncing. Persoalan ini yang bagi kami Pram-Doel tidak peduli dengan persoalan lingkungan dan krisis iklim, termasuk ruang hidup,” umbar dia.
Catatan lainnya dari LBH Jakarta yakni kepada pemimpin kota Jakarta itu sendiri. Kali ini soal kesejahteraan pekerja di tengah arus informalisasi Jakarta.
Fadhil menerangkan, saat ini Jakarta secara berangsur-angsur menjadi kota informal. Per tahun 2023, sebanyak 1.838.096 dari jumlah pekerja di Jakarta merupakan pekerja informal.
Hal ini dinilainya menjadi tantangan bagi Pemprov DKI Jakarta untuk memberikan perhatian serius bagaimana menjamin hak-hak pekerja di sektor informal dapat terlindungi.
“Pekerja informal di Jakarta harus mendapatkan jaminan dalam menambah penghidupannya dengan terhindar dari ancaman penggusuran dan pengusiran dalam penataan ruang kegiatan ekonomi, hingga akomodasi agar pekerja informal tidak merasa terancam oleh penertiban,” ungkapnya.
Jakarta juga disebutnya masih kurang dalam memberikan persoalan bantuan hukum dan perlindungan hukum warga secara non-diskriminatif.
Sebagai daerah di Indonesia yang menjadi pionir dalam memberikan akses bantuan hukum bagi kelompok miskin dan rentan, lanjut Fadhil, sangat ironis ketika Jakarta belum juga memiliki Peraturan Daerah mengenai penyelenggaraan bantuan hukum bagi warganya.
Ia menegaskan kalau Pemprov DKI Jakarta harus mengutamakan pembahasan dan pengesahan Ranperda Bantuan Hukum yang telah bergulir di periode sebelumnya agar dapat disahkan sesegera mungkin, guna menjawab kebutuhan bantuan hukum bagi warga Jakarta.
“Jawaban atas penyelesaian permasalahan ini belum terlihat dalam janji kampanye dan pelaksanaan program 100 hari kerja Pram - Doel. Hadirnya Perda Bantuan Hukum di Jakarta diharapkan mampu memberikan akses bantuan hukum dan dan integrasi layanan bagi warga yang berhadapan dengan hukum, yang turut mencakup korban dan kelompok rentan,” paparnya.
Persoalan lainnya yang menurut Fadhil harus segera diselesaikan yakni soal Ruang Aman Mobilitas Perkotaan dan Kelayakan Transportasi Publik yang Berkelanjutan.
Sebab urusan kualitas dan aksesibilitas transportasi publik, serta seluruh sarana maupun prasarana lainnya yang berkaitan dengan mobilitas warga, masih menjadi persoalan dalam keseharian warga Jakarta.
Hal tersebut, kata Fadhil, ditunjukkan dengan adanya 2.370 laporan warga mengenai jalan yang dihimpun Biro Pemerintahan Setda Provinsi DKI Jakarta pada Juli 2024.
Ia berucap, kualitas dan aksesibilitas transportasi publik bagi kelompok rentan serta penyandang disabilitas pun jauh dari kata ideal.
Menurut catatannya, masih dengan mudah diperoleh titik-titik transit seperti halte, stasiun, dan terminal yang tidak memiliki fasilitas ramah penyandang disabilitas seperti lift, ramp, dan guiding block. Padahal ini penting keberadaannya bagi para penyandang disabilitas.
Selain itu, kasus terjadinya kekerasan seksual terhadap perempuan di transportasi publik. Menurut catatan Komnas Perempuan tahun 2023, transportasi umum menjadi salah satu tempat paling banyak terjadinya pelecehan seksual.
“Sehingga, harus menjadi perhatian Pemprov DKI Jakarta sebagai penyelenggara transportasi publik perkotaan,” tegasnya.
Lalu juga soal kondisi perlindungan hak pejalan kaki dalam melakukan mobilitas perkotaan di Jakarta, yang mana kata Fadhil juga turut termarjinalkan.
Berdasarkan catatan dari Koalisi Pejalan Kaki pada 2023, dari total ruas jalan sepanjang 7000 KM yang mengular di Jakarta, hanya sekitar 8, 71% ruas tersebut yang memiliki trotoar atau jalur pejalan kaki. Sampai sekarang kondisi tersebut pun masih tidak jauh berbeda.
“Trotoar yang ada selain itu banyak yang jauh dari kata layak, sebagai akibat dari sempitnya trotoar, digunakannya trotoar oleh kendaraan bermotor, hingga kondisi trotoar yang tidak rata maupun berlubang,” katanya.
Fadhil berharap momentum HUT Jakarta ke-498 ini bisa menjadi kesempatan evaluasi dan refleksi bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menyelesaikan beragam permasalahan yang melekat.
“Pertanyaannya apakah DKI Jakarta merupakan kota ‘Global dan Berbudaya’ dengan beragam permasalahan berdimensi pelanggaran hak asasi manusia yang mengiringi,” tandasnya.