Suara.com - Di tengah tarik-ulur komitmen iklim negara-negara maju, perhatian mulai beralih ke negara-negara berkembang yang memiliki kapasitas besar, baik ekonomi maupun teknologi, untuk terlibat lebih aktif dalam mitigasi perubahan iklim.
Salah satunya adalah Tiongkok. Negara ini muncul sebagai kekuatan baru dalam pembiayaan iklim global, terutama melalui skema besar yang dikenal dengan Belt and Road Initiative (BRI).
Indonesia, sebagai salah satu negara penerima manfaat terbesar dari BRI di Asia Tenggara, berada pada posisi strategis untuk memperkuat kemitraan iklim dengan China. Terutama saat tantangan pembiayaan dan kebijakan masih menjadi penghambat utama dalam pelaksanaan target iklim nasional yang ambisius.

Dalam diskusi daring bertajuk “Mendorong Kolaborasi Selatan-Selatan dalam Aksi Iklim: Menjajaki Kemitraan China dan Indonesia”, peneliti Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Saffanah R Azzahrah, menekankan pentingnya belajar dari pencapaian China.
“Berefleksi pada keberhasilan China untuk melampaui target pengembangan 1200 GW energi terbarukan, komitmen yang ambisius untuk mengembangkan energi terbarukan menjadi krusial untuk memberikan sinyal bagi pengembangan industri dan pendanaan iklim bagi Indonesia. Oleh karena itu, NDC Kedua Indonesia perlu menargetkan setidaknya 40 GW kapasitas energi terbarukan pada tahun 2030,” ujarnya dalam keterangan tertulisnya.
Besarnya potensi pembiayaan dari China terlihat dari data historis yang menunjukkan nilai investasi tahunan ke Indonesia dalam kerangka BRI berkisar antara USD 2,1 miliar hingga USD 9,3 miliar. Jika tren ini berlanjut, total pembiayaan hingga 2030 diproyeksikan bisa mencapai USD 14,7 hingga 65,1 miliar.
Namun, kebutuhan Indonesia jauh lebih besar. Untuk mencapai target energi terbarukan 2030, Indonesia membutuhkan dana sekitar USD 146 miliar per tahun dari 2025 hingga 2030. Padahal, pada 2023, investasi yang tersedia untuk energi terbarukan hanya sebesar USD 1,5 miliar.
Secara khusus, kontribusi China untuk sektor energi di Indonesia diperkirakan berada dalam kisaran USD 490 juta hingga USD 900 juta per tahun. Jika dikalkulasi dalam periode 2024–2030, nilainya bisa mencapai total USD 3,4 hingga 6,3 miliar.
Direktur Eksekutif Yayasan Kesejahteraan Berkelanjutan Indonesia (SUSTAIN), Tata Mustasya, menyebut kontribusi ini penting dalam kerangka Just Energy Transition Partnership (JETP).
Baca Juga: Jarak Tempuh Bikin Melongo! Ini Spesifikasi Lengkap Xpeng G6 dan X9 di Indonesia
“Mengacu pada kebutuhan pembiayaan transisi energi Indonesia dalam Just Energy Transition Partnership (JETP) Indonesia sebagai acuan, investasi China di Indonesia dapat menutupi porsi yang signifikan dari pembiayaan energi terbarukan, baik untuk energi terbarukan variabel maupun yang dapat dikendalikan (dispatchable). Hal ini berpotensi mencakup sebagian besar kebutuhan pembiayaan energi terbarukan Indonesia, yang sejalan dengan tujuan JETP,” tutur Tata.
Namun kemitraan ini tidak bisa hanya bicara soal angka. Aspek tata kelola dan keberlanjutan juga menjadi perhatian penting. Di sektor kehutanan dan lahan, misalnya, investasi asing seperti dari China harus tunduk pada regulasi nasional dan daerah.
Direktur Lembaga Pemberdayaan Ekonomi dan Sosial Masyarakat (LPESM) Riau, Woro Supartinah, menyoroti perlunya reformasi dalam praktik industri kehutanan yang kerap mengabaikan prinsip keberlanjutan.
“Praktek-praktek industri kehutanan yang masih belum memenuhi prinsip-prinsip keberlanjutan harus segera ditransformasi dan diubah ke arah yang lebih ramah lingkungan dan ramah masyarakat. Salah satu yang dapat dilakukan, di antaranya dengan menghadirkan kebijakan investasi hijau untuk setiap tingkatan pelaku, dan sistem pendukung industri kehutanan termasuk perbankan,” jelasnya.
Menurutnya, dukungan pembiayaan saja tidak cukup. Diperlukan perbaikan kebijakan agar kerusakan lingkungan tidak berulang dan investasi benar-benar menghasilkan dampak yang adil dan berkelanjutan.
Dalam konteks ini, China bisa menjadi mitra penting bagi Indonesia, selama kerja sama diarahkan pada keberlanjutan, inklusi sosial, dan ketangguhan iklim. Kolaborasi Selatan-Selatan, seperti yang kini dijajaki, bukan sekadar alternatif, tetapi peluang strategis untuk membangun masa depan energi yang lebih adil dan lestari.