Suara.com - Nurmala Kartini Sjahrir bukan sekadar adik dari tokoh militer dan politik Luhut Binsar Pandjaitan atau ibu dari Pandu Patria Sjahrir, CEO anak usaha energi raksasa.
Ia adalah sosok intelektual yang membangun kredibilitasnya dari lintasan pendidikan yang panjang, disiplin, dan juga berprestasi.
Kini ia kembali jadi sorotan setelah dicalonkan sebagai sebagai Duta Besar RI untuk Jepang, sebuah posisi strategis yang menjadi puncak dari perjalanan panjang di ranah akademik, diplomasi, dan advokasi sosial.
Berikut adalah tujuh fase penting dalam pendidikan dan kiprah keilmuan dan intelektual yang jarang diketahui publik sekaligus layak dijadikan inspirasi:
1. Sarjana Antropologi Universitas Indonesia: Pijakan Awal Sang Cendekia
Kartini meraih gelar Sarjana Antropologi dari Universitas Indonesia (UI) tahun 1976, sebuah jurusan yang saat itu belum banyak diminati perempuan.
Tak hanya aktif di kelas, ia menjadi Ketua Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala UI), menunjukkan semangat kepemimpinan dan keberaniannya menjelajahi medan intelektual maupun alam.
2. Studi S2 di Boston University: Perempuan Indonesia di Negeri Paman Sam
Pada tahun 1974-1975, Kartini hijrah ke Amerika Serikat untuk menempuh pendidikan S2 Antropologi di Boston University.
Baca Juga: Adik Luhut Jadi Calon Dubes Jepang: Ini 5 Fakta Menarik Kartini Sjahrir
Ia lulus dengan gelar Master pada 1981.
Di masa itu, perempuan Indonesia yang kuliah ke luar negeri adalah hal langka. Kartini bisa membuktikan bahwa batasan hanya ada jika kita berhenti bermimpi.
3. Ujian Kandidat Doktor dan Lulus PhD dari Boston
Tidak berhenti di Master, Kartini melanjutkan ke program doktoral.
Setelah menuntaskan ujian kandidat pada 1982, ia kembali ke Boston pada 1988 dan berhasil meraih gelar PhD tahun 1990.
Disertasinya berjudul “Pasar Tenaga Kerja Indonesia: Kasus Sektor Konstruksi” adalah studi mendalam tentang dinamika sosial ekonomi Indonesia dan menjadi rujukan penting dalam kebijakan ketenagakerjaan.
4. Mengajar di UI dan Membentuk Generasi Intelektual Baru
Sekembalinya ke Indonesia, Kartini mengabdi sebagai dosen S1 Antropologi di Universitas Indonesia dan juga mengajar di program pascasarjana.
Ia tak hanya mentransfer ilmu, tetapi juga menanamkan semangat berpikir kritis dan nilai-nilai empati sosial kepada mahasiswanya.
5. Peneliti di CPIS bersama Harvard dan Kementerian Keuangan
Tahun 1986-1992, Kartini menjadi peneliti sosial-ekonomi di Center for Policy and Implementation Studies (CPIS), lembaga riset yang bekerja sama dengan Harvard University dan Kementerian Keuangan.
Di sinilah Kartini menunjukkan bahwa keilmuan bisa langsung menyentuh kebijakan negara dan kesejahteraan publik.
6. Antropolog yang Aktif di AAI dan Lingkaran Sosial
Kartini saat ini menjabat sebagai Ketua Umum Asosiasi Antropologi Indonesia (AAI), memimpin komunitas keilmuan lintas kampus dan lintas generasi.
Ia juga aktif di berbagai yayasan seperti Rumah Ibu, Suara Ibu Peduli, dan Yayasan Lingkungan Sejahtera yang membuktikan bahwa pendidikan tinggi bisa menjadi alat advokasi nyata.
7. Disiplin Ilmu yang Mewarnai Diplomasi dan Politik
Pengangkatan Kartini sebagai Duta Besar RI untuk Argentina (2010–2014) adalah bukti bahwa diplomasi Indonesia membutuhkan lebih banyak sosok seperti dirinya yang cerdas, tangguh, dan memiliki wawasan lintas budaya.
Pendidikan antropologi membentuk kemampuannya dalam memahami kompleksitas sosial-politik antarbangsa.
Pada akhir masa jabatannya, ia bahkan dianugerahi Order de Mayo el Merito en el Grado Gran Cruz oleh Pemerintah Argentina, medali kehormatan tertinggi yang pernah diterima diplomat Indonesia di sana.
Kartini Sjahrir adalah contoh nyata bagaimana pendidikan bukan sekadar tangga karier, tapi juga jalan hidup. Dari kampus UI hingga Boston, dari kelas antropologi hingga forum diplomasi dunia, jejaknya adalah kisah tentang kegigihan perempuan Indonesia yang menjadikan ilmu sebagai senjata, bukan sekadar gelar.